Pada
14 hingga 19 Oktober 1987, indeks harga saham gabungan di bursa Amerika Serikat
(AS) jatuh hingga melampaui angka 30%. Senin, 19 Oktober 1987 menjadi puncak kejatuhan
pasar saham AS, hari itu kemudian dikenal dengan istilah Black Monday. Indeks Dow Jones Industrial
Average (DJIA) nyemplung hingga 508
poin, hingga lenyaplah 22,6% dari total nilainya. Sementara itu, indeks S&P
500 juga terjun dari 282,7 menjadi 225,06 poin (20.4%). Itulah gambaran salah
satu peristiwa kejatuhan terbesar yang pernah diderita Wall Street hanya dalam
satu hari saja. Banyak pihak yang mengemukakan asumsinya mengenai kejatuhan
tersebut. Ada yang bilang crash itu
terjadi karena penggunaan robot dalam transaksi perdagangan (dahulu istilahnya program trading atau computer trading), adanya perdagangan
produk derivatif, penaksiran harga dan nilai yang berlebihan (overvaluation), hilangnya likuiditas,
dan ada pula yang menganggap peristiwa itu terjadi karena psikologi pasar.
Lalu, manakah pendapat yang benar?
Terakhir, siapa yang lebih Anda percaya? Politikus atau para praktisi dan profesional?
Pendapat yang paling banyak
pendukungnya adalah krisis terjadi karena penggunaan teknologi komputer dalam perdagangan saham
oleh beberapa perusahaan investasi. Dalam program
trading, komputer diprogram agar secara otomatis membeli saham dalam jumlah
besar ketika muncul tren kenaikan harga saham tertentu. Pendapat mengenai
program trading ini mengemuka setelah
politikus ikut memberikan komentar atas peristiwa kejatuhan pasar saham. Salah
satu anggota Kongres, Edward J. Markey, mengatakan bahwa program trading adalah penyebab jatuhnya bursa. Program trading juga dipersalahkan
karena dengan penggunaan teknologi akibatnya
banyak sekali transaksi penjualan saham yang terjadi ketika ada
kecenderungan penurunan harga saham tertentu. Namun, beberapa
studi menunjukkan bahwa pada masa itu bursa di negara lain yang tidak
menggunakan program trading juga ikut
jatuh. Bahkan ada yang jatuhnya lebih parah ketimbang kejatuhan bursa AS.
Berbeda pendapat dengan politikus, ekonom AS Richard Roll lebih yakin bahwa
kejatuhan bursa hanyalah karakter biasa setiap pasar saham, tak perlu
menyalahkan program trading. Buktinya,
bursa Australia dan Hong Kong yang tidak menggunakan program trading juga ikut kolaps. Hal itu terjadi sebagai imbas
kejatuhan pasar saham AS.
Richard Sylla
dari New York University melihat penyebab krisis dari dua sudut pandang, yakni dari
sisi ekonomi makro dan dari sisi alasan internal. Dari sisi ekonomi makro,
Sylla menganggap konflik internasional dalam hal valuta asing dan tingkat suku
bunga, serta kekhawatiran akan kenaikan tingkat inflasi yang menjadi penyebab crash. Sementara dari sisi alasan internal,
inovasi bursa berjangka dan asuransi portofolio yang dijadikan kambing hitam. Harga
komoditas di bursa berjangka Chicago lebih rendah daripada pasar saham.
Sehingga, banyak investor yang berupaya melakukan arbitrase, membeli futures di pasar Chicago dan menjualnya
di New York.
Teori lainnya
mengenai penyebab krisis keuangan
1987 adalah karena konflik kebijakan moneter antara negara-negara
G7 yang menopang dollar dan membatasi inflasi, serta memperketat kebijakan
keuangan. Sementara itu, sikap Amerika Serikat yang menekan Jerman untuk
mengubah kebijakan moneternya menjadi salah satu faktor yang membuat perubahan
perilaku investor hingga crash
terjadi.
Banyak analis
pasar keuangan yang menganggap bahwa harga saham telah dinilai secara
berlebihan pada September 1987. Rasio harga dengan penghasilan (P/E) dan rasio
harga dengan deviden (P/D) dinilai terlalu tinggi. Biasanya, rasio P/E untuk
S&P 500 sekitar 15:1, tetapi pada Oktober 1987 P/E meningkat menjadi 20:1.
Mengenai rasio ini, kalau dilihat sejak tahun 1960 sampai 1970-an pun yang
namanya rasio P/E dan P/D sudah biasa dinilai tinggi. Meski demikian, pada
kenyataannya pada periode tersebut tidak pernah terjadi kejatuhan bursa. Jadi,
jelas overvaluation bukanlah penyebab
atau pemicu kejatuhan bursa.
Sekuritas Derivatif
Krisis 1987 dinilai oleh beberapa
kalangan terjadi karena adanya karakter saling mempengaruhi antara pasar saham dengan
pasar derivatif. Pada awalnya para pelaku pasar hanya membeli saham, namun
dalam perkembangannya mereka hanya membeli produk derivatif atau produk
turunannya saja seperti kontrak opsi (options)
dan kontrak berjangka (futures). Options dan futures dikenal sebagai produk derivatif (turunan) karena nilainya
diturunkan atau dihasilkan dari perubahan harga saham meski tidak ada saham
aktual yang dimiliki. Brady Commission menyimpulkan bahwa tidak sinkronnya
operasi bursa saham dengan bursa
derivatif menjadi penyebab utama jatuhnya pasar keuangan.
Selama anjlognya bursa, mekanisme
perdagangan di pasar keuangan tidak dapat mengakomodasi transaksi penjualan
dalam jumlah besar. Banyak saham di bursa New York tidak diperdagangkan sampai
tanggal 19 Oktober 1987 pagi, karena para pialang tidak dapat menemukan pembeli
yang cukup untuk membeli sejumlah saham yang ditawarkan para penjual. Akibatnya,
sesi perdagangan pun dihentikan. Sulitnya likuiditas mengakibatkan penurunan harga, karena investor menaksir
jumlah likuiditas terlalu tinggi. Namun, pasar derivatif tidak dapat
menjelaskan mengapa banyak orang memutuskan untuk menjual saham di saat yang
sama.
Meski masalah struktural dalam pasar
memainkan peran dalam kejatuhan pasar, tetap saja hal itu tidak bisa sepenuhnya dipersalahkan. Pasti ada tindakan
di luar pasar yang menyebabkan para pialang menurunkan perkiraannya terhadap
nilai pasar saham. Faktor eksternal ini tampaknya adalah Rancangan
Undang-Undang (RUU) Anti-Takeover yang
masuk ke parlemen pada 15 Oktober 1987 tentang penghapusan pengurangan bunga kredit yang
digunakan untuk pengambilalihan perusahaan. Artinya, jika RUU tersebut gol
menjadi UU, maka kredit yang digunakan untuk mengambilalih perusahaan akan
tetap diberikan bunga tinggi.
Dua orang ekonom dari Securities and
Exchange Commission, Mark Mitchell dan Jeffry Netter, mempublikasikan hasil
penelitian pada 1989 dan menyimpulkan bahwa RUU Anti-Takeover lah yang memicu jatuhnya pasar keuangan AS. Mereka
mencatat bahwa saat RUU akan dibahas di Kongres, pasar bereaksi terhadap
perkembangan beritanya. Sejak hari Selasa 13 Oktober 1987 (saat RUU pertama kali diperkenalkan)
sampai Jum’at 16 Oktober
1987 (ketika pasar tutup karena akhir pekan), harga beberapa saham jatuh lebih dari 10%. Selain itu, saham-saham yang
mempengaruhi jatuhnya bursa adalah saham-saham yang sangat terpengaruh oleh RUU
tersebut. Akhirnya, RUU tersebut batal disahkan menjadi Undang-Undang.
Kronologi krisis 1987
Semua penjelasan di atas mungkin terkesan masuk akal bagi
Anda. Tapi, sebaiknya kita tinjau krisis 1987 dengan merunut kronologinya.
Pertama: Bunga tinggi.
Bunga (imbal hasil / yields) obligasi jangka panjang biasanya
tak jauh dari angka 7,6%. Namun, pada musim panas 1987 bunga obligasi jangka
panjang rata-rata beranjak hingga 10%. Hal ini tentu saja menjadi daya tarik
luar biasa bagi para investor. Sehingga, banyak investor yang mengalihkan
dananya dari saham ke obligasi jangka panjang.
Kedua: Defisit APBN Amerika Serikat.
Akibat tingginya bunga obligasi, kewajiban pemerintah AS pun
semakin besar, beban anggaran semakin berat, hingga APBN AS pun mengalami defisit.
Buktinya, pada 14 Oktober 1987 pemerintah AS mengumumkan defisit APBN. Menyikapi
hal itu, Menteri Keuangan AS James Baker kemudian
menyarankan penurunan nilai dollar di
pasar mata uang. Ketakutan
turunnya nilai dollar AS membuat investor asing menarik aset-aset mereka dalam
dollar, lalu mengakibatkan peningkatan suku bunga.
Ketiga: Pasar Obligasi kolaps.
Defisit APBN AS membuat
kalangan investor kehilangan kepercayaan terhadap produk obligasi AS.
Akibatnya, harga produk obligasi pun jatuh. Pasar obligasi AS bahkan Eropa kemudian kolaps. Kolapsnya pasar obligasi membuat kelompok
saham yang sensitif bunga seperti tabungan
dan pinjaman menjadi jatuh. Kejadian
di pasar obligasi sangat memengaruhi
saham-saham yang sensitif terhadap
suku bunga. Kejatuhan
saham-saham sensitif bunga dapat
dipastikan membawa pengaruh pada bursa saham secara keseluruhan.
Hikmah Krisis
Dari peristiwa krisis keuangan 1987, dapat kita simpulkan
bahwa jika negara kita ingin selamat dari hantaman krisis global, langkah
pertama adalah memangkas utang sesegera mungkin. Lunasi saja segera utang yang
sangat mungkin dilunasi. Kedua, jangan coba-coba menaikkan tingkat suku bunga Surat
Utang Negara atau menaikkan imbal hasil (yields)
obligasi negara dengan alasan konvensional demi menarik minat investor. Ketiga,
segeralah beralih ke sistem bagi hasil, dan perlahan kita tinggalkan sistem bunga.
Keempat, awasi terus gerak-gerik DPR dan Pemerintah, jangan sampai menciptakan
utang-utang baru demi mereguk kepentingan pribadi atau golongan dan
menelantarkan kepentingan nasional jangka panjang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar