Google
 

Minggu, 09 Oktober 2011

Black Monday 1987

Pada 14 hingga 19 Oktober 1987, indeks harga saham gabungan di bursa Amerika Serikat (AS) jatuh hingga melampaui angka 30%. Senin, 19 Oktober 1987 menjadi puncak kejatuhan pasar saham AS, hari itu kemudian dikenal dengan istilah Black Monday. Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) nyemplung hingga 508 poin, hingga lenyaplah 22,6% dari total nilainya. Sementara itu, indeks S&P 500 juga terjun dari 282,7 menjadi 225,06 poin (20.4%). Itulah gambaran salah satu peristiwa kejatuhan terbesar yang pernah diderita Wall Street hanya dalam satu hari saja. Banyak pihak yang mengemukakan asumsinya mengenai kejatuhan tersebut. Ada yang bilang crash itu terjadi karena penggunaan robot dalam transaksi perdagangan (dahulu istilahnya program trading atau computer trading), adanya perdagangan produk derivatif, penaksiran harga dan nilai yang berlebihan (overvaluation), hilangnya likuiditas, dan ada pula yang menganggap peristiwa itu terjadi karena psikologi pasar. Lalu, manakah pendapat yang benar?


Pendapat yang paling banyak pendukungnya adalah krisis terjadi karena penggunaan teknologi komputer dalam perdagangan saham oleh beberapa perusahaan investasi. Dalam program trading, komputer diprogram agar secara otomatis membeli saham dalam jumlah besar ketika muncul tren kenaikan harga saham tertentu. Pendapat mengenai program trading ini mengemuka setelah politikus ikut memberikan komentar atas peristiwa kejatuhan pasar saham. Salah satu anggota Kongres, Edward J. Markey, mengatakan bahwa program trading adalah penyebab jatuhnya bursa. Program trading juga dipersalahkan karena dengan penggunaan teknologi akibatnya banyak sekali transaksi penjualan saham yang terjadi ketika ada kecenderungan penurunan harga saham tertentu. Namun, beberapa studi menunjukkan bahwa pada masa itu bursa di negara lain yang tidak menggunakan program trading juga ikut jatuh. Bahkan ada yang jatuhnya lebih parah ketimbang kejatuhan bursa AS.

Berbeda pendapat dengan politikus, ekonom AS Richard Roll lebih yakin bahwa kejatuhan bursa hanyalah karakter biasa setiap pasar saham, tak perlu menyalahkan program trading. Buktinya, bursa Australia dan Hong Kong yang tidak menggunakan program trading juga ikut kolaps. Hal itu terjadi sebagai imbas kejatuhan pasar saham AS.

Richard Sylla dari New York University melihat penyebab krisis dari dua sudut pandang, yakni dari sisi ekonomi makro dan dari sisi alasan internal. Dari sisi ekonomi makro, Sylla menganggap konflik internasional dalam hal valuta asing dan tingkat suku bunga, serta kekhawatiran akan kenaikan tingkat inflasi yang menjadi penyebab crash. Sementara dari sisi alasan internal, inovasi bursa berjangka dan asuransi portofolio yang dijadikan kambing hitam. Harga komoditas di bursa berjangka Chicago lebih rendah daripada pasar saham. Sehingga, banyak investor yang berupaya melakukan arbitrase, membeli futures di pasar Chicago dan menjualnya di New York.

Teori lainnya mengenai penyebab krisis keuangan 1987 adalah karena konflik kebijakan moneter antara negara-negara G7 yang menopang dollar dan membatasi inflasi, serta memperketat kebijakan keuangan. Sementara itu, sikap Amerika Serikat yang menekan Jerman untuk mengubah kebijakan moneternya menjadi salah satu faktor yang membuat perubahan perilaku investor hingga crash terjadi.

Banyak analis pasar keuangan yang menganggap bahwa harga saham telah dinilai secara berlebihan pada September 1987. Rasio harga dengan penghasilan (P/E) dan rasio harga dengan deviden (P/D) dinilai terlalu tinggi. Biasanya, rasio P/E untuk S&P 500 sekitar 15:1, tetapi pada Oktober 1987 P/E meningkat menjadi 20:1. Mengenai rasio ini, kalau dilihat sejak tahun 1960 sampai 1970-an pun yang namanya rasio P/E dan P/D sudah biasa dinilai tinggi. Meski demikian, pada kenyataannya pada periode tersebut tidak pernah terjadi kejatuhan bursa. Jadi, jelas overvaluation bukanlah penyebab atau pemicu kejatuhan bursa.


Sekuritas Derivatif

Krisis 1987 dinilai oleh beberapa kalangan terjadi karena adanya karakter saling mempengaruhi antara pasar saham dengan pasar derivatif. Pada awalnya para pelaku pasar hanya membeli saham, namun dalam perkembangannya mereka hanya membeli produk derivatif atau produk turunannya saja seperti kontrak opsi (options) dan kontrak berjangka (futures). Options dan futures dikenal sebagai produk derivatif (turunan) karena nilainya diturunkan atau dihasilkan dari perubahan harga saham meski tidak ada saham aktual yang dimiliki. Brady Commission menyimpulkan bahwa tidak sinkronnya operasi  bursa saham dengan bursa derivatif menjadi penyebab utama jatuhnya pasar keuangan.

Selama anjlognya bursa, mekanisme perdagangan di pasar keuangan tidak dapat mengakomodasi transaksi penjualan dalam jumlah besar. Banyak saham di bursa New York tidak diperdagangkan sampai tanggal 19 Oktober 1987 pagi, karena para pialang tidak dapat menemukan pembeli yang cukup untuk membeli sejumlah saham yang ditawarkan para penjual. Akibatnya, sesi perdagangan pun dihentikan. Sulitnya likuiditas mengakibatkan penurunan harga, karena investor menaksir jumlah likuiditas terlalu tinggi. Namun, pasar derivatif tidak dapat menjelaskan mengapa banyak orang memutuskan untuk menjual saham di saat yang sama.

Meski masalah struktural dalam pasar memainkan peran dalam kejatuhan pasar, tetap saja hal itu tidak bisa sepenuhnya dipersalahkan. Pasti ada tindakan di luar pasar yang menyebabkan para pialang menurunkan perkiraannya terhadap nilai pasar saham. Faktor eksternal ini tampaknya adalah Rancangan Undang-Undang (RUU) Anti-Takeover yang masuk ke parlemen pada 15 Oktober 1987 tentang penghapusan pengurangan bunga kredit yang digunakan untuk pengambilalihan perusahaan. Artinya, jika RUU tersebut gol menjadi UU, maka kredit yang digunakan untuk mengambilalih perusahaan akan tetap diberikan bunga tinggi.

Dua orang ekonom dari Securities and Exchange Commission, Mark Mitchell dan Jeffry Netter, mempublikasikan hasil penelitian pada 1989 dan menyimpulkan bahwa RUU Anti-Takeover lah yang memicu jatuhnya pasar keuangan AS. Mereka mencatat bahwa saat RUU akan dibahas di Kongres, pasar bereaksi terhadap perkembangan beritanya. Sejak hari Selasa 13 Oktober 1987 (saat RUU pertama kali diperkenalkan) sampai Jum’at 16 Oktober 1987 (ketika pasar tutup karena akhir pekan), harga beberapa saham jatuh lebih dari 10%. Selain itu, saham-saham yang mempengaruhi jatuhnya bursa adalah saham-saham yang sangat terpengaruh oleh RUU tersebut. Akhirnya, RUU tersebut batal disahkan menjadi Undang-Undang.


Kronologi krisis 1987

Semua penjelasan di atas mungkin terkesan masuk akal bagi Anda. Tapi, sebaiknya kita tinjau krisis 1987 dengan merunut kronologinya.

Pertama: Bunga tinggi.
Bunga (imbal hasil / yields) obligasi jangka panjang biasanya tak jauh dari angka 7,6%. Namun, pada musim panas 1987 bunga obligasi jangka panjang rata-rata beranjak hingga 10%. Hal ini tentu saja menjadi daya tarik luar biasa bagi para investor. Sehingga, banyak investor yang mengalihkan dananya dari saham ke obligasi jangka panjang.

Kedua: Defisit APBN Amerika Serikat.
Akibat tingginya bunga obligasi, kewajiban pemerintah AS pun semakin besar, beban anggaran semakin berat, hingga APBN AS pun mengalami defisit. Buktinya, pada 14 Oktober 1987 pemerintah AS mengumumkan defisit APBN. Menyikapi hal itu, Menteri Keuangan AS James Baker kemudian menyarankan penurunan nilai dollar di pasar mata uang. Ketakutan turunnya nilai dollar AS membuat investor asing menarik aset-aset mereka dalam dollar, lalu mengakibatkan peningkatan suku bunga.

Ketiga: Pasar Obligasi kolaps.
Defisit APBN AS membuat kalangan investor kehilangan kepercayaan terhadap produk obligasi AS. Akibatnya, harga produk obligasi pun jatuh. Pasar obligasi AS bahkan Eropa kemudian kolaps. Kolapsnya pasar obligasi membuat kelompok saham yang sensitif bunga seperti tabungan dan pinjaman menjadi jatuh. Kejadian di pasar obligasi sangat memengaruhi saham-saham yang sensitif terhadap suku bunga. Kejatuhan saham-saham sensitif bunga dapat dipastikan membawa pengaruh pada bursa saham secara keseluruhan.

Hikmah Krisis
Dari peristiwa krisis keuangan 1987, dapat kita simpulkan bahwa jika negara kita ingin selamat dari hantaman krisis global, langkah pertama adalah memangkas utang sesegera mungkin. Lunasi saja segera utang yang sangat mungkin dilunasi. Kedua, jangan coba-coba menaikkan tingkat suku bunga Surat Utang Negara atau menaikkan imbal hasil (yields) obligasi negara dengan alasan konvensional demi menarik minat investor. Ketiga, segeralah beralih ke sistem bagi hasil, dan perlahan kita tinggalkan sistem bunga. Keempat, awasi terus gerak-gerik DPR dan Pemerintah, jangan sampai menciptakan utang-utang baru demi mereguk kepentingan pribadi atau golongan dan menelantarkan kepentingan nasional jangka panjang.   

Terakhir, siapa yang lebih Anda percaya? Politikus atau para praktisi dan profesional?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar