Google
 

Sabtu, 19 November 2011

Krisis Moneter Asia 1997

Inilah krisis yang tidak akan pernah hilang dari ingatan kita. Sungguh penderitaan yang nyata kita rasakan pada masa-masa krismon 1997. Kata-kata yang masih terus menempel dalam ingatan saya hingga saat ini adalah keluhan dari seorang kerabat yang hidup di bawah garis kemiskinan, “Sekarang kita tidak mampu lagi membeli mi instant.” Jelas mereka yang berpenghasilan Rp5.000,- per hari tak lagi mampu membeli bahan makanan yang cukup untuk empat orang anggota keluarganya, sebab harga mi instant yang biasanya hanya Rp300 tiba-tiba melonjak dahsyat menjadi Rp1.500,- per bungkusnya. Saat itu, tidak hanya orang-orang yang tinggal di Indonesia saja yang merasakan penderitaan akibat krisis ekonomi, tetapi mungkin hampir sebagian besar warga Asia turut tersiksa. Krisis yang bermula dari Thailand ini terus menjalar tak terbendung ke Korea Selatan, Malaysia, dan Indonesia. Sementara negara yang tak terpengaruh dampak krisis Asia secara signifikan adalah Brunei Darussalam, Singapura, dan Republik Rakyat Cina (RRC). Mengapa ada negara yang menderita begitu parah tetapi ada juga negara yang tak tertular krisis? Mari simak bersama..


Pada tahun 1980-an, perekonomian Thailand berjalan stabil dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 9% per tahun. Stabilnya perekonomian Thailand saat itu mendorong banyak perusahaan swasta di Thailand untuk mendapatkan keuntungan yang lebih banyak dengan melakukan leveraging, mengajukan kredit usaha besar-besaran ke bank-bank di negara maju seperti Jepang. Karena melihat tren perekonomian Thailand yang stabil secara makro, bank-bank di Jepang dengan sangat mudah mengucurkan kredit tanpa memperhatikan fundamental perusahaan debitur. Artinya, perbankan di Jepang telah mengucurkan kredit Ponzi ke berbagai perusahaan di Thailand. Akhir tahun 1996, tibalah masa jatuh tempo pembayaran utang perusahaan-perusahaan swasta di Thailand. Karena pada saat itu banyak perusahaan yang tidak mampu memenuhi kewajibannya, maka timbullah ketidakpercayaan di kalangan perbankan Jepang terhadap kapabilitas perusahaan Thailand. Beberapa bank Jepang mempercepat jatuh tempo pembayaran utang. Akibatnya, masa jatuh tempo pelunasan utang terakumulasi dalam periode yang sama. Pada tahun yang sama (1996), hedge fund Amerika Serikat menjual US$400 juta ke Thailand. Awal tahun 1997, nilai mata uang Baht jatuh karena tingginya permintaan terhadap Dollar AS. Perusahaan swasta yang memiliki utang jatuh tempo pada tahun 1997 semakin kesulitan mengembalikan pinjaman karena Baht yang menurun tajam.

Ketidakmampuan perusahaan swasta Thailand dalam memenuhi kewajibannya membuat nilai saham perusahaan-perusahaan itu jatuh. Karena banyak nilai saham perusahaan yang anjlok, secara otomatis membuat pasar modal Thailand anjlok pula hingga 75%. Dimulailah krisis finansial di Thailand pada 2 Juli 1997. Finance One (perusahaan keuangan terbesar di Thailand) ikut mengalami kebangkrutan. Pada 11 Agustus 1997, IMF menawarkan paket “penyelamatan” untuk Thailand dengan menyediakan dana lebih dari US$ 16 milyar. Namun, akhirnya pada 20 Agustus IMF menyetujui pencairan paket "penyelamatan" sebesar US$ 3,9 milyar. Paket “penyelamatan” yang dikucurkan IMF segera menunjukkan aksinya. Bulan Januari 1998, Baht jatuh ke titik terendahnya: 56 Baht per US$, padahal sejak 1985 hingga 2 Juli 1997 Baht dipatok pada harga 25 Baht per US$.

Krisis di Thailand membawa pengaruh di Filipina. Bank sentral Filipina menaikkan suku bunga sebesar 1,75 persen pada Mei 1997 dan 2 persen lagi pada 19 Juni 1997. Pada 3 Juli, bank sentral Filipina dipaksa IMF untuk campur tangan besar-besaran dalam menjaga kestabilan Peso Filipina, sehingga harus manut kepada perintah IMF dengan menaikkan suku bunga dari 15 persen ke 24 persen hanya dalam waktu satu malam saja.

Tak berhenti di Filipina, krisis lalu menjalar ke Hong Kong. Pada 15 Agustus 1997 seperti yang terjadi di Filipina, suku bunga Hong Kong naik dari 8 persen ke 23 persen dalam waktu yang sangat singkat. Pada Oktober 1997, dolar Hong Kong yang sebelumnya dipatok HK$7,8 per USD mendapatkan tekanan spekulatif karena inflasi Hong Kong lebih tinggi dibanding AS selama bertahun-tahun. Pemerintah setempat menghabiskan lebih dari US$ 1 milyar untuk mempertahankan mata uang lokal. Meskipun adanya serangan spekulasi, Hong Kong masih dapat mengatur mata uangnya yang dipatok ke dolar AS. Pasar modal Hong Kong menjadi tak stabil, antara 20 sampai 23 Oktober, Index Hang Seng jatuh hingga 23%.

Korea Selatan yang menjadi negara dengan perekonomian terbesar ke-11 dunia, turut menerima imbas krisis Thailand. Meski fundamental ekonomi makro Korsel sangat baik, namun sektor perbankannya dibebani kredit macet luar biasa. Angka Non Performing Loan (NPL) yang sangat tinggi mengakibatkan banyak perusahaan Korsel yang mengalami default, nilai sahamnya jatuh, atau bahkan diakuisisi oleh perusahaan lain. Contohnya pada Juli 1997, Kia Motors yang notabene merupakan produsen mobil terbesar ketiga di Korea, terpaksa meminta pinjaman darurat kepada perbankan. Bursa efek Seoul jatuh sebesar 4% pada 7 November 1997. Sehari kemudian, bursa jatuh kembali hingga mencapai angka 7%, penurunan terbesar sepanjang sejarah negara tersebut. Pada 24 November, pasar modal jatuh lagi hingga 7,2% karena adanya kekhawatiran IMF akan meminta reformasi yang membebani ekonomi Korsel. Peringkat kredit Korea Selatan turun dari A1 ke A3 pada 28 November 1997, dan turun lagi menjadi B2 pada 11 Desember. Pada tahun 1998, Hyundai Motor mengambil alih Kia Motors.

Di Malaysia, negara ini mengalami defisit anggaran hingga 6 persen. Pada bulan Juli 1997, Ringgit Malaysia diserang oleh para spekulator. Untuk menyikapi serangan itu, Pemerintah Malaysia mengambil kebijakan mata uang mengambang (floating exchange rate), tetapi akibatnya justru Ringgit Malaysia anjlok secara drastis pada 17 Agustus 1997. Empat hari kemudian Standard and Poor's menurunkan peringkat utang Malaysia. Seminggu berselang, peringkat Maybank juga ikut turun, padahal Maybank adalah bank terbesar di Malaysia. Di hari yang sama, bursa efek Kuala Lumpur jatuh 856 poin, dan menjadi titik terendahnya sejak 1993. Pada 2 Oktober, Ringgit kembali terjungkal dan membuat Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad harus mengambil kebijakan capital control. Meski demikian, mata uang Ringgit tetap saja jatuh lagi pada akhir 1997 ketika Mahathir Mohamad mengumumkan bahwa pemerintah Malaysia akan menggunakan RM 10 milyar untuk membiayai  proyek jalan, rel, dan saluran pipa. Pada 1998, pengeluaran di berbagai sektor menurun. Sektor konstruksi menyusut 23,5 persen, produksi menyusut 9 persen, dan agrikultur 5,9 persen. Pendapatan Domestik Bruto (PDB) negara ini turun 6,2 persen pada 1998. Meski ikut mengalami dampak negatif krisis finansial Asia 1997, Malaysia merupakan negara tercepat yang pulih dari krisis ini karena menolak bantuan IMF.

Pada Juni 1997, Indonesia mulai mengalami pengaruh krisis Thailand. Tidak seperti Thailand, Indonesia memiliki inflasi yang rendah, perdagangan surplus lebih dari US$900 juta, cadangan devisa lebih dari US$20 milyar, dan sektor perbankan yang berjalan dengan baik. Namun sayangnya, ternyata banyak perusahaan Indonesia yang meminjam ke luar negeri atau berutang dalam bentuk dolar AS. Pada Juli 1997 saat Thailand mengambangkan nilai tukar Baht, Rupiah mulai menunjukkan tren bearish. Pada 14 Agustus 1997, Pemerintah RI mengganti kebijakan pertukaran mengambang teratur dengan pertukaran mengambang bebas, akibatnya Rupiah terperosok semakin dalam. IMF kemudian datang dengan paket “bantuan” US$23 milyar, tapi tetap saja rupiah semakin anjlok lebih dalam lagi karena adanya pembayaran utang swasta luar negeri yang jatuh tempo, permintaan US$ yang sangat tinggi di pasar, dan penjualan rupiah besar-besaran. Pasar uang dan bursa efek Jakarta menyentuh titik terendah pada bulan September 1997. Moody's menurunkan peringkat utang jangka panjang Indonesia menjadi "junk bond".


Bagaimana dengan negara yang rada kebal” krisis?

Berbeda dengan negara Asia Tenggara lainnya, ekonomi Singapura berhasil menampilkan performa yang relatif lebih sehat daripada negara lain di Asia selama dan pasca krisis finansial 1997. Adanya hubungan erat dan ketergantungan Singapura terhadap ekonomi regional membuat negara ini tetap mengalami dampak negatif terhadap perekonomiannya. Meski demikian, kemampuan Singapura dalam menangkal efek krisis menjadi perhatian banyak pihak dan meningkatkan jumlah penelitian kebijakan fiskal Singapura sebagai pelajaran bagi negara tetangganya. Sebagai negara yang menganut ekonomi terbuka, dolar Singapura menjadi sangat terbuka terhadap tekanan spekulatif seperti yang telah terjadi pada tahun 1985. Perekonomian memiliki peran yang sangat penting dalam keberlangsungan Singapura sebagai negara merdeka. Pemerintah Singapura berhasil mengatur nilai tukar mata uangnya untuk menghindari potensi serangan speklulatif.

Republik Rakyat Cina (RRC) tidak terpengaruh oleh krisis finansial Asia karena beberapa faktor, antara lain: renminbi tidak dapat ditukar dengan valas, hampir semua investasinya dalam bentuk Foreign Direct Investment (FDI) dan bukan bidang sekuritas. Meskipun RRC memiliki masalah kesanggupan melunasi utang (solvency) yang parah dalam sistem perbankannya, mayoritas dana yang tersimpan di bank-bank RRC adalah berasal dari sumber domestik, sehingga tidak ada peristiwa pelarian dana ke luar negeri.

Dari beberapa negara yang tidak terlalu menderita akibat krismon 1997, yang patut diteladani adalah Brunei Darussalam. Ketidakstabilan harga minyak dunia pada 1997 turut sedikit mempengaruhi perekonomian Brunei Darussalam sebagai negara penghasil minyak. Selain itu, kolapsnya Amedeo, perusahaan konstruksi terbesar di Brunei yang sebagian besar proyeknya membantu merangsang pertumbuhan ekonomi dalam negeri, juga dianggap mempengaruhi stabilitas ekonomi Brunei. Namun, kedua faktor itu tidak menimbulkan dampak negatif yang signifikan terhadap perekonomian Brunei secara umum. Mengapa demikian? Jawabannya sudah pasti terkait dengan masalah utang. Brunei Darussalam adalah satu-satunya negara di Asia yang tidak memiliki utang sama sekali alias zero debt. Dengan kondisi seperti itu, sudah dapat dipastikan bahwa di masa depan Brunei Darussalam tidak akan pernah menderita akibat krisis global paling parah sekali pun.

Mau bebas dari imbas krisis ekonomi global? 
Contohlah Brunei: No Debt, No Crisis
 

4 komentar:

  1. Blog yang sangat menarik Mas... Terima kasih sudah memperkaya wawasan kami.

    Sila kunjungi blog kami untuk mendapatkan informasi seputar ekonomi, bisnis, bursa, dan teknologi: http://ipotnews.blogspot.com/

    BalasHapus
  2. woow... Brunei Darussalam, no debt, no crisis? Bisa ya sebuah negara ga ada hutang sama sekali...

    BalasHapus
  3. Bisa, semua negara bisa seperti Brunei Darussalam,, mereka terbebas dari risiko krisis karena serius dan konsisten menerapkan sistem ekonomi Islam di negaranya..

    BalasHapus