Inilah krisis yang tidak akan pernah hilang dari
ingatan kita. Sungguh penderitaan yang nyata kita rasakan pada masa-masa
krismon 1997. Kata-kata yang masih terus menempel dalam ingatan saya hingga
saat ini adalah keluhan dari seorang kerabat yang hidup di bawah garis
kemiskinan, “Sekarang kita tidak mampu lagi membeli mi instant.” Jelas mereka
yang berpenghasilan Rp5.000,- per hari tak lagi mampu membeli bahan makanan
yang cukup untuk empat orang anggota keluarganya, sebab harga mi instant yang
biasanya hanya Rp300 tiba-tiba melonjak dahsyat menjadi Rp1.500,- per
bungkusnya. Saat itu, tidak hanya orang-orang yang tinggal di Indonesia saja
yang merasakan penderitaan akibat krisis ekonomi, tetapi mungkin hampir
sebagian besar warga Asia turut tersiksa. Krisis yang bermula dari Thailand ini
terus menjalar tak terbendung ke Korea Selatan, Malaysia, dan Indonesia.
Sementara negara yang tak terpengaruh dampak krisis Asia secara signifikan
adalah Brunei Darussalam, Singapura, dan Republik Rakyat Cina (RRC). Mengapa
ada negara yang menderita begitu parah tetapi ada juga negara yang tak tertular
krisis? Mari simak bersama..
Pada tahun 1980-an, perekonomian Thailand berjalan stabil
dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 9% per tahun. Stabilnya perekonomian
Thailand saat itu mendorong banyak perusahaan swasta di Thailand untuk
mendapatkan keuntungan yang lebih banyak dengan melakukan leveraging, mengajukan
kredit usaha besar-besaran ke bank-bank di negara maju seperti Jepang. Karena
melihat tren perekonomian Thailand yang stabil secara makro, bank-bank di
Jepang dengan sangat mudah mengucurkan kredit tanpa memperhatikan fundamental
perusahaan debitur. Artinya, perbankan di Jepang telah mengucurkan kredit Ponzi
ke berbagai perusahaan di Thailand. Akhir tahun 1996, tibalah masa jatuh tempo
pembayaran utang perusahaan-perusahaan swasta di Thailand. Karena pada saat itu
banyak perusahaan yang tidak mampu memenuhi kewajibannya, maka timbullah
ketidakpercayaan di kalangan perbankan Jepang terhadap kapabilitas perusahaan
Thailand. Beberapa bank Jepang mempercepat jatuh tempo pembayaran utang.
Akibatnya, masa jatuh tempo pelunasan utang terakumulasi dalam periode yang
sama. Pada tahun yang sama (1996), hedge
fund Amerika Serikat menjual US$400 juta ke Thailand. Awal tahun 1997,
nilai mata uang Baht jatuh karena tingginya permintaan terhadap Dollar AS.
Perusahaan swasta yang memiliki utang jatuh tempo pada tahun 1997 semakin
kesulitan mengembalikan pinjaman karena Baht yang menurun tajam.
Ketidakmampuan perusahaan swasta Thailand dalam memenuhi
kewajibannya membuat nilai saham perusahaan-perusahaan itu jatuh. Karena banyak
nilai saham perusahaan yang anjlok, secara otomatis membuat pasar modal
Thailand anjlok pula hingga 75%. Dimulailah krisis finansial di Thailand pada 2
Juli 1997. Finance One (perusahaan keuangan terbesar di Thailand) ikut
mengalami kebangkrutan. Pada 11 Agustus 1997, IMF menawarkan paket
“penyelamatan” untuk Thailand dengan menyediakan dana lebih dari US$ 16 milyar.
Namun, akhirnya pada 20 Agustus IMF menyetujui pencairan paket
"penyelamatan" sebesar US$ 3,9 milyar. Paket “penyelamatan” yang
dikucurkan IMF segera menunjukkan aksinya. Bulan Januari 1998, Baht jatuh ke
titik terendahnya: 56 Baht per US$, padahal sejak 1985 hingga 2 Juli 1997 Baht
dipatok pada harga 25 Baht per US$.
Krisis di Thailand membawa pengaruh di Filipina. Bank
sentral Filipina menaikkan suku bunga sebesar 1,75 persen pada Mei 1997 dan 2
persen lagi pada 19 Juni 1997. Pada 3 Juli, bank sentral Filipina dipaksa IMF
untuk campur tangan besar-besaran dalam menjaga kestabilan Peso Filipina,
sehingga harus manut kepada perintah
IMF dengan menaikkan suku bunga dari 15 persen ke 24 persen hanya dalam waktu
satu malam saja.
Tak berhenti di Filipina, krisis lalu menjalar ke Hong
Kong. Pada 15 Agustus 1997 seperti yang terjadi di Filipina, suku bunga Hong
Kong naik dari 8 persen ke 23 persen dalam waktu yang sangat singkat. Pada
Oktober 1997, dolar Hong Kong yang sebelumnya dipatok HK$7,8 per USD
mendapatkan tekanan spekulatif karena inflasi Hong Kong lebih tinggi dibanding
AS selama bertahun-tahun. Pemerintah setempat menghabiskan lebih dari US$ 1
milyar untuk mempertahankan mata uang lokal. Meskipun adanya serangan
spekulasi, Hong Kong masih dapat mengatur mata uangnya yang dipatok ke dolar
AS. Pasar modal Hong Kong menjadi tak stabil, antara 20 sampai 23 Oktober, Index
Hang Seng jatuh hingga 23%.
Korea Selatan yang menjadi negara dengan perekonomian
terbesar ke-11 dunia, turut menerima imbas krisis Thailand. Meski fundamental
ekonomi makro Korsel sangat baik, namun sektor perbankannya dibebani kredit
macet luar biasa. Angka Non Performing Loan (NPL) yang sangat tinggi
mengakibatkan banyak perusahaan Korsel yang mengalami default, nilai sahamnya jatuh, atau bahkan diakuisisi oleh
perusahaan lain. Contohnya pada Juli 1997, Kia Motors yang notabene merupakan
produsen mobil terbesar ketiga di Korea, terpaksa meminta pinjaman darurat
kepada perbankan. Bursa efek Seoul jatuh sebesar 4% pada 7 November 1997.
Sehari kemudian, bursa jatuh kembali hingga mencapai angka 7%, penurunan
terbesar sepanjang sejarah negara tersebut. Pada 24 November, pasar modal jatuh
lagi hingga 7,2% karena adanya kekhawatiran IMF akan meminta reformasi yang
membebani ekonomi Korsel. Peringkat kredit Korea Selatan turun dari A1 ke A3
pada 28 November 1997, dan turun lagi menjadi B2 pada 11 Desember. Pada tahun
1998, Hyundai Motor mengambil alih Kia Motors.
Di Malaysia, negara ini mengalami defisit anggaran hingga
6 persen. Pada bulan Juli 1997, Ringgit Malaysia diserang oleh para spekulator.
Untuk menyikapi serangan itu, Pemerintah Malaysia mengambil kebijakan mata uang
mengambang (floating exchange rate),
tetapi akibatnya justru Ringgit Malaysia anjlok secara drastis pada 17 Agustus
1997. Empat hari kemudian Standard and Poor's menurunkan peringkat utang
Malaysia. Seminggu berselang, peringkat Maybank juga ikut turun, padahal
Maybank adalah bank terbesar di Malaysia. Di hari yang sama, bursa efek Kuala
Lumpur jatuh 856 poin, dan menjadi titik terendahnya sejak 1993. Pada 2
Oktober, Ringgit kembali terjungkal dan membuat Perdana Menteri Malaysia
Mahathir Mohamad harus mengambil kebijakan capital
control. Meski demikian, mata uang Ringgit tetap saja jatuh lagi pada akhir
1997 ketika Mahathir Mohamad mengumumkan bahwa pemerintah Malaysia akan
menggunakan RM 10 milyar untuk membiayai
proyek jalan, rel, dan saluran pipa. Pada 1998, pengeluaran di berbagai
sektor menurun. Sektor konstruksi menyusut 23,5 persen, produksi menyusut 9
persen, dan agrikultur 5,9 persen. Pendapatan Domestik Bruto (PDB) negara ini
turun 6,2 persen pada 1998. Meski ikut mengalami dampak negatif krisis
finansial Asia 1997, Malaysia merupakan negara tercepat yang pulih dari krisis
ini karena menolak bantuan IMF.
Pada Juni 1997, Indonesia mulai mengalami pengaruh krisis
Thailand. Tidak seperti Thailand, Indonesia memiliki inflasi yang rendah, perdagangan
surplus lebih dari US$900 juta, cadangan devisa lebih dari US$20 milyar, dan
sektor perbankan yang berjalan dengan baik. Namun sayangnya, ternyata banyak
perusahaan Indonesia yang meminjam ke luar negeri atau berutang dalam bentuk
dolar AS. Pada Juli 1997 saat Thailand mengambangkan nilai tukar Baht, Rupiah
mulai menunjukkan tren bearish. Pada
14 Agustus 1997, Pemerintah RI mengganti kebijakan pertukaran mengambang
teratur dengan pertukaran mengambang bebas, akibatnya Rupiah terperosok semakin
dalam. IMF kemudian datang dengan paket “bantuan” US$23 milyar, tapi tetap saja
rupiah semakin anjlok lebih dalam lagi karena adanya pembayaran utang swasta
luar negeri yang jatuh tempo, permintaan US$ yang sangat tinggi di pasar, dan
penjualan rupiah besar-besaran. Pasar uang dan bursa efek Jakarta menyentuh
titik terendah pada bulan September 1997. Moody's menurunkan peringkat utang
jangka panjang Indonesia menjadi "junk
bond".
Bagaimana dengan
negara yang “rada kebal” krisis?
Berbeda dengan negara Asia Tenggara lainnya, ekonomi
Singapura berhasil menampilkan performa yang relatif lebih sehat daripada
negara lain di Asia selama dan pasca krisis finansial 1997. Adanya hubungan
erat dan ketergantungan Singapura terhadap ekonomi regional membuat negara ini
tetap mengalami dampak negatif terhadap perekonomiannya. Meski demikian,
kemampuan Singapura dalam menangkal efek krisis menjadi perhatian banyak pihak
dan meningkatkan jumlah penelitian kebijakan fiskal Singapura sebagai pelajaran
bagi negara tetangganya. Sebagai negara yang menganut ekonomi terbuka, dolar
Singapura menjadi sangat terbuka terhadap tekanan spekulatif seperti yang telah
terjadi pada tahun 1985. Perekonomian memiliki peran yang sangat penting dalam
keberlangsungan Singapura sebagai negara merdeka. Pemerintah Singapura berhasil
mengatur nilai tukar mata uangnya untuk menghindari potensi serangan
speklulatif.
Republik Rakyat Cina (RRC) tidak terpengaruh oleh krisis
finansial Asia karena beberapa faktor, antara lain: renminbi tidak dapat
ditukar dengan valas, hampir semua investasinya dalam bentuk Foreign Direct Investment (FDI) dan
bukan bidang sekuritas. Meskipun RRC memiliki masalah kesanggupan melunasi
utang (solvency) yang parah dalam
sistem perbankannya, mayoritas dana yang tersimpan di bank-bank RRC adalah
berasal dari sumber domestik, sehingga tidak ada peristiwa pelarian dana ke
luar negeri.
Dari
beberapa negara yang tidak terlalu menderita akibat krismon 1997, yang patut
diteladani adalah Brunei Darussalam. Ketidakstabilan harga minyak dunia
pada 1997 turut sedikit mempengaruhi perekonomian Brunei Darussalam sebagai
negara penghasil minyak. Selain itu, kolapsnya Amedeo, perusahaan konstruksi terbesar
di Brunei yang sebagian besar proyeknya membantu merangsang pertumbuhan ekonomi
dalam negeri, juga dianggap mempengaruhi stabilitas ekonomi Brunei. Namun,
kedua faktor itu tidak menimbulkan dampak negatif yang signifikan terhadap
perekonomian Brunei secara umum.
Mengapa demikian? Jawabannya sudah pasti terkait dengan masalah utang. Brunei
Darussalam adalah satu-satunya negara di Asia yang tidak memiliki utang sama
sekali alias zero debt. Dengan
kondisi seperti itu, sudah dapat dipastikan bahwa di masa depan Brunei
Darussalam tidak akan pernah menderita akibat krisis global paling parah sekali
pun.
Mau bebas
dari imbas krisis ekonomi global?
Contohlah Brunei: No Debt, No Crisis
Contohlah Brunei: No Debt, No Crisis
Blog yang sangat menarik Mas... Terima kasih sudah memperkaya wawasan kami.
BalasHapusSila kunjungi blog kami untuk mendapatkan informasi seputar ekonomi, bisnis, bursa, dan teknologi: http://ipotnews.blogspot.com/
woow... Brunei Darussalam, no debt, no crisis? Bisa ya sebuah negara ga ada hutang sama sekali...
BalasHapusBisa, semua negara bisa seperti Brunei Darussalam,, mereka terbebas dari risiko krisis karena serius dan konsisten menerapkan sistem ekonomi Islam di negaranya..
BalasHapusizin copy
BalasHapus