Google
 

Kamis, 10 Januari 2013

Krisis Ekonomi Argentina (1999 – 2002)

Argentina merupakan negara di Amerika Latin yang kaya sumber daya alam, memiliki sektor pertanian yang maju, dan industri yang beragam. Tahun 1980-an, negeri asal Lionel Messi ini telah menimbun utang luar negeri yang sangat besar hingga mengakibatkan hiperinflasi. Untuk mengatasi masalah hiperinflasi tersebut, pemerintah Argentina mengambil beberapa langkah strategis seperti liberalisasi perdagangan, deregulasi, dan privatisasi. Walau pun dengan kebijakan itu pada mulanya tingkat inflasi berhasil diturunkan, namun krisis ekonomi yang melanda Meksiko, Rusia, dan Brasil pada 1999 turut memberi imbas pada ekonomi Argentina. Krisis ekonomi di Argentina yang berlangsung sepanjang tahun 1999 hingga 2002 merupakan krisis yang sangat mengerikan dan menimbulkan dampak buruk terhadap kehidupan warga Argentina. 

Dalam ranah ekonomi makro, masa kritis Argentina ditandai dengan terjadinya penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) pada 1999. Banyak pihak yang tak menduga bahwa Argentina akan diguncang krisis ekonomi dahsyat, tetapi sebenarnya akar krisis tersebut dapat diilihat dengan mempelajari hal-hal yang terjadi sebelumnya, terutama kebijakan politik dan ekonomi pemerintah Argentina yang kontroversial. 

Pada tahun 1983, masa transisi politik Argentina dari kediktatoran menuju demokrasi ditandai dengan penyelenggaraan pemilu dan terpilihnya Raúl Ricardo Alfonsin Foulkes sebagai presiden. Di bawah kepemimpinan Alfonsin, pemerintahan yang baru menggulirkan program stabilisasi ekonomi Argentina dan penciptaan mata uang baru, austral. Angka inflasi kemudian tumbuh tak terkendali di rentang 10 - 20% per bulan. Bahkan, pada 1989 hiperinflasi Argentina mencapai angka fantastis 5.000%. Selama pemerintahan Alfonsin, angka pengangguran memang tidak mengalami penurunan signifikan, namun pendapataan riil masyarakat terpangkas hingga separuh lebih. Harga berbagai komoditas perdagangan dan bahan-bahan pokok kebutuhan rumah tangga meningkat tajam. Pemerintahan Partai Radikal di bawah pimpinan Presiden Alfonsin lalu jatuh oleh pergolakan sosial dan aksi kaum buruh yang frustrasi akibat persoalan ekonomi. 

Naiknya Carlos Menem (8 Juli 1989 - 10 Desember 1999) menjadi presiden menggantikan Alfonsin ternyata semakin memperparah keadaan. Proses pembangunan ekonomi justru memperbesar jurang kesenjangan sosial. Angka pengangguran meningkat sampai 14,5%, sementara praktik korupsi dan tindak kejahatan semakin meluas. Orientasi pembangunan cenderung elitis dan kurang memperhatikan rakyat bawah. Tak heran kalau di akhir kekuasaan Carlos Menem pada tahun 1999, kondisi perekonomian Argentina jadi sangat rapuh. Tak lama setelah itu, Argentina langsung tersungkur dan mengalami krisis ekonomi yang lebih hebat. Sikap terlalu liberal dan kurang kehati-hatian Menem juga diduga banyak pihak menjadi penyebab krisis menjadi semakin parah. 

Pasca hiperinflasi di Argentina, di penghujung tahun 1990 Domingo Cavallo ditunjuk sebagai Menteri Ekonomi. Pada 1991, Cavallo mengambil kebijakan mata uang tetap dan mematok nilai tukar mata uang peso Argentina sebesar ₳10,000 per dollar AS. Kebijakan tersebut membawa dampak terhadap penurunan tingkat inflasi, stabilnya harga berbagai komoditas, serta terjaganya nilai mata uang. Hal itu sementara waktu mampu meningkatkan kualitas hidup warga Argentina yang ditandai dengan adanya peningkatan daya beli mereka. Namun, rakyat Argentina belum bisa berbahagia dulu, karena negara itu masih menanggung beban utang yang sangat besar. 

Kebijakan mata uang tetap membuat impor semakin murah, akibatnya terjadilah pengeluaran dollar AS dalam jumlah besar ke luar negeri dan kerugian progresif pada industri infrastruktur Argentina dan pada akhirnya berujung pada peningkatan jumlah pengangguran. Sementara itu, belanja pemerintah terus meningkat dan korupsi makin merajalela. Utang Argentina tumbuh signifikan selama 1990-an, sementara belum ada tanda-tanda bahwa Argentina memiliki kemampuan untuk melunasinya. Meski demikian, IMF terus saja memberikan pinjaman ke Argentina dan menunda jadwal pembayarannya. Pengemplangan pajak yang sangat besar dan praktik pencucian uang menjadi alibi yang menjelaskan fenomena menguapnya sebagian uang Argentina ke beberapa bank di luar negeri. Sebuah badan ditugaskan untuk melakukan investigasi pada 2001 terhadap Gubernur Bank Sentral Argentina, Pedro Pou, karena dirinya dinilai gagal dalam menyelesaikan kasus pencucian uang yang terjadi dalam sistem keuanagan Argentina. 

Krisis ekonomi yang terjadi di Meksiko dan Brazil turut mempengaruhi kepercayaan negara-negara lain. Akibatnya, negara-negara di regional Amerika Latin turut merasakan dampak timbulnya krisis kepercayaan setelah terjadinya krisis ekonomi. Negara-negara yang biasa memberikan pinjaman kepada Argentina akan berpikir dua kali untuk mengucurkan pinjaman lagi kepada Argentina dan negara-negara Amerika Latin lainnya. 


Kisruh Politik 

Pada pemilu 24 Oktober 1999, calon oposisi Fernando de la Rúa menang atas kandidat Partai Peronis Eduardo Alberto Duhalde dengan 48,5% berbanding 38%. Ketatnya kebijakan ekonomi menyebabkan Argentina gagal melakukan pembayaran utang luar negeri sebesar US$132 milyar pada saat jatuh tempo dan gagal pula memperoleh kucuran dana pinjaman dari IMF sebesar US$1,3 milyar. Setelah pengunduran diri Presiden de la Rúa pada 20 Desember 2001, sesuai konstitusi, Kongres mengangkat Ketua Senat Ramón Puerta (21-23 Desember 2001) untuk menggantikan de la Rúa karena Wakil Presiden Carloz Alvarez telah mengundurkan diri terlebih dahulu setahun sebelumnya. Selang 48 jam kemudian, Kongres bersidang selama tak kurang dari 15 jam dan menetapkan Gubernur Provinsi San Luis Adolfo Rodriguez Saá sebagai pengganti Presiden de la Rua. Begitu terpilih secara resmi pada 23 Desember 2001, Presiden Rodriguez Saá menyatakan default (tidak sanggup membayar utang) atas utang luar negeri. Ini merupakan pernyataan default terbesar yang tercatat dalam sejarah. Rodriguez Saá kemudian lengser pada 1 Januari 2002. 

Ketua Senat Ramon Puerta yang dalam konstitusi berhak menggantikan sementara karena kosongnya kursi wakil presiden langsung menyatakan mundur. Tindakan ini memaksa Ketua Parlemen Eduardo Camano (1-2 Januari 2002) harus mengambil alih kursi kepresidenan sementara selama 48 jam. Tepat pada 1 Januari 2002, Senator Eduardo Duhalde (2 Januari 2002-25 Mei 2003) terpilih menjadi presiden kelima Argentina dalam kurun waktu dua minggu. Eduardo Duhalde menyambut pemilihan dirinya sebagai presiden dengan menyatakan “Argentina Bangkrut”. 


Hubungan dengan IMF 

Sejak awal 1990, Argentina telah menjalin hubungan akrab dengan International Monetary Fund (IMF) karena lembaga tersebut dengan senang hati memberikan akses kredit yang mudah kepada Argentina sekaligus memandu proses reformasi ekonomi. Ketika ekonomi Argentina mengalami resesi, defisit anggaran pemerintah federal meningkat hingga 2,5% dari PDB 1999 dan pinjaman luar negeri melampaui angka 50% dari PDB. Melihat hal tersebut, IMF meminta pemerintah Argentina agar meningkatkan kepercayaan para investor dan pemerintah harus menyeimbangkan neraca dengan implementasi kebijakan tertentu. Menanggapi permintaan IMF tersebut, pemerintahan De la Rua berkomitmen untuk melakukan konsolidasi fiskal serta memotong anggaran sebesar US$1,4 miliar. 

Pada bulan Juni tahun 2000, dengan tingkat pengangguran sebesar 14% dan harapan peningkatan PDB sebesar 3,5%, penghematan anggaran diikuti dengan pengetatan anggaran sebesar US$938 juta serta peningkatan pajak sebesar US$2 miliar. Alih-alih meningkat, PDB Argentina malah anjlok hingga 0,8%. Lembaga pemeringkat utang Standard and Poor's kemudian menurunkan peringkat utang Argentina menjadi B-. 

Pada bulan Juli tahun 2001, pemerintah Argentina nekat menggulirkan kebijakan tak populer dengan memotong gaji PNS dan uang pensiun sebesar 13%. Kebijakan itu kemudian memicu jurang depresi ekonomi yang makin dalam. Kemudian pada Oktober tahun yang sama, kekecewaan publik terhadap kebijakan pemerintah dan kondisi ekonomi yang carut marut dilampiaskan pada momen pemilu. Presiden Fernando de la Rua dan sekutunya kehilangan kursi di parlemen. 

Pada 4 Desember 2001, yields obligasi pemerintah Argentina tercatat lebih tinggi 34% daripada yields obligasi AS. Krisis semakin parah ketika pada 5 Desember 2001 IMF menolak untuk memberikan tambahan utang sebesar US$1,3 miliar karena pemerintah Argentina gagal mencapai target pengurangan defisit anggaran. Pada 11 Desember, selisih yields obligasi Argentina dengan AS mencapai 42%. 


Cacerolazo 

Pada akhir November 2001, masyarakat beramai-ramai menarik uang tabungan mereka di bank, menukarnya dari peso menjadi dollar AS, lalu mengirimnya ke luar negeri. Menyikapi fenomena tersebut, pemerintah Argentina kemudian pada 2 Desember 2001 menggulirkan kebijakan corralito, yakni membekukan semua rekening di bank selama 12 bulan dan hanya memperbolehkan penarikan uang dalam jumlah kecil, yakni sekitar $250 seminggu. Karena pembatasan tersebut, rakyat Argentina menjadi berang. Mereka turun ke jalan dan berdemonstrasi di berbagai kota, khususnya di ibukota negara, Buenos Aires. Unjuk rasa yang mereka lakukan kemudian populer dengan istilah cacerolazo

Pada mulanya unjuk rasa berlangsung tertib, tapi perlahan berubah menjadi anarkis. Terjadi perusakkan properti seperti bank, perusahaan swasta asing, khususnya perusahaan-perusahaan besar milik AS dan Eropa. Konfrontasi antara polisi dengan massa makin sering terjadi dan tindak kekerasan sudah menjadi pemandangan umum di jalan-jalan Buenos Aires. Presiden Fernando de la Rúa kemudian menyatakan negara dalam keadaan darurat. Pernyataan tersebut malah memperkeruh suasana, hasilnya adalah kerusuhan pada 20 dan 21 Desember 2001 di Plaza de Mayo, kontak fisik antara massa pengunjuk rasa dengan aparat kemanan berujung pada tewasnya beberapa orang demonstran. Dampak peristiwa itu, Fernando de la Rúa dilengserkan dari jabatan presiden. Kongres kemudian melantik Eduardo Duhalde sebagai kepala negara sementara. Di awal jabatannya, Duhalde bertemu dengan IMF untuk meminta pinjaman tambahan sebesar US$20 juta. 

Pada tahun 2002, PDB Argentina turun 11%, angka inflasi tembus 41%, dan lebih dari 37% penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan. Ekonomi Argentina makin ambruk setelah terjadi penarikan uang besar-besaran di semua bank. Usaha pemerintah untuk mencapai zero deficit, menstabilisasikan sistem perbankan, dan mengekalkan pertumbuhan ekonomi tidak mampu membendung krisis ekonomi yang makin lama makin akut. Menurut pakar agronomi Alberto Lapolla, berdasarkan kajian Institut d'études sur l'État et la participation (IDEP) rata-rata setiap hari terdapat 55 anak, 35 dewasa, dan 15 manula di Argentina mati akibat penyakit yang berkaitan dengan kelaparan. 


Mata Uang Ketiga 

Selama penghujung tahun 2001, pemerintahan Rodríguez Saá menghadapi masalah utang yang pelik. Jumlah utang yang gagal bayar tak kurang dari US$132 miliar. Tim ahli ekonomi Presiden Rodríguez Saá mengusulkan program penyelamatan keuangan negara yang disebut Rencana "Mata Uang Ketiga". Yang dimaksud dengan “mata uang ketiga” adalah mata uang baru yang tak dapat dipertukarkan, yakni Argentino. Argentino hanya berlaku untuk transaksi tunai, sementara untuk transaksi non-tunai dapat menggunakan mata uang peso atau dollar AS. Argentino dilegalkan untuk menarik semua uang komplementer yang sedang digunakan dalam sirkulasi. Dengan digulirkannya Argentino, pemerintah Argentina berharap dapat kembali meningkatkan kepercayaan publik terhadap mata uang peso. Pihak yang tidak setuju dengan kebijakan “mata uang ketiga” menyebut program itu sebagai devaluasi yang terkendali. Ide “mata uang ketiga” juga memiliki pendukung fanatik di kalangan ekonom arus utama, salah satunya adalah Martin Redrado, mantan gubernur bank sentral Argentina. Namun, pada akhirnya gagasan “mata uang ketiga” tidak dapat dijalankan karena tidak mendapat dukungan politik. 

Pada Januari 2002, mata uang peso kehilangan separuh nilainya di pasar uang. Nilai tukar lalu ditetapkan sebesar 1,4 peso per dollar AS. Menteri Perekonomian mengeluarkan kebijakan pesificación, semua rekening tabungan di bank yang berdenominasi dollar AS harus dikonversi ke mata uang lokal. Banyak protes memang, tetapi hal itu tetap dilakukan demi menyelamatkan keuangan negara. Setelah beberapa bulan, peso mengalami depresiasi, dan berujung pada inflasi. Situasi ekonomi menjadi semakin kacau. Kualitas hidup warga terutama kelas menengah semakin menurun, banyak perusahaan yang bangkrut, produk-produk impor semakin tak terjangkau. Karena volume peso tidak dapat memenuhi kebutuhan akan uang tunai, rasa takut akan tejadinya hiperinflasi sebagai konsekuensi devaluasi semakin menjadi-jadi. 


Pelajaran Berharga 

Apa yang telah terjadi di Argentina seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah Indonesia. Krisis keuangan yang bermuara pada krisis ekonomi dan krisis multidimensi akan memakan banyak korban. Tak peduli pemerintah atau swasta, kaya atau miskin, tua atau muda, sehat atau sakit, semua pasti kena getahnya. Lihat saja Aerolíneas Argentinas, maskapai raksasa di Argentina yang memiliki pengaruh besar tehadap perusahaan lain ini sampai menghentikan semua rute penerbangan internasionalnya di tahun 2002. Hampir saja bangkrut, meski kemudian terseok-seok untuk bertahan hidup. 

Ribuan tunawisma baru dan pengangguran di Argentina beralih profesi menjadi cartoneros alias pemulung kardus. Sekitar 30.000 hingga 40.000 orang menyisir tepi-tepi jalan untuk mengumpulkan kardus bekas dan menjualnya ke tempat pengolahan sampah. Produk pertanian Argentina ditolak di beberapa pasar internasional, karena muncul kekhawatiran menurunnya kualitas komoditas pertanian Argentina akibat pengaruh krisis. Bahkan pemerintah AS semakin memperketat masuknya produk-produk pertanian dan obat-obatan asal Argentina. Berbagai stasiun televisi lebih banyak memproduksi reality show ketimbang acara lain. Alasannya sederhana, ongkos produksi yang lebih murah. 

Semua kejadian menyakitkan itu bermula pada utang yang unsustainable, jumlahnya terlalu besar dan tak mampu lagi dibayar oleh negara dan entitas lainnya. Utang-utang itu sudah mencapai titik jenuhnya. Kalau “gali lubang tutup lubang” atau melunasi utang dengan cara membuat utang baru bukanlah solusi yang tepat untuk menutupi defisit anggaran negara, lalu apa langkah yang bijak sebagai penggantinya? Apakah dengan mencabut subsidi BBM? Atau ada solusi lain yang lebih efektif dan efisien? Yuk, sama-sama mikir.

6 komentar:

  1. Lebih baik dan mudah mikirin penyebabnya daripada solusi.
    Pengalaman krisis finansial/ekonomi di banyak negara dari dahulu juga berujung kepada pemiskinan dan penderitaan. Contoh nyata di negara kita sendiri.
    Utang boleh saja karena utang membuat average cost of capital menjadi lebih rendah dan dibutuhkan untuk pertumbuhan ekonomi, tetapi harus utang sustainable atau tertanggung. Syarat sustainability tidak boleh dilanggar,baik oleh swasta maupun pemerintah.
    Tantangan kedepan adalah bagaimana mengendalikan utang swasta dan pemerintah dengan parameter yang valid?
    Sektor swasta dapat dikendalikan langsung oleh BI.
    Mematok persentasi utang terhadap PDB saja untuk mengukur sustainability utang pemerintah tidaklah cukup. Bagaimana apabila PDB mendadak turun drastis karena faktor eksternal? Nah karena PDB bisa juga mendadak turun, maka harus ada parameter lain yang juga bersifat prudent.
    Inilah yang harus kita sama-sama pikirkan!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setuju Pak. Mudah2an ada pembaca lain yang juga berkenan memberikan sumbang saran dan pemikiran bersama mengenai bagaimana menjawab tantangan ke depan.

      Hapus
    2. Tuh kan....% hutang terhadap PDB saja tidak valid sebagai ukuran.
      Rethinking macroeconomic policy: Getting granular

      Olivier Blanchard, Giovanni Dell'Ariccia, Paolo Mauro, 31 May 2013
      http://www.voxeu.org/article/rethinking-macroeconomic-policy-getting-granular
      Fiscal policies in an era of high government debt and low economic growth
      +++++++++++++++++++++++++++++

      The crisis has shown that what appeared to be safe levels of government debt were in fact not so safe. Two aspects have been highlighted:

      First, the realisation of contingent liabilities (in the banking system, but also in public enterprises or guarantees on public-private partnerships) can result in rapid and large increases in government debt;
      Second, the possibility of self-fulfilling debt crises is real.

      Hapus
  2. kalau BI memang milik pemerintah indonesia, mengapa pemerintah harus meminjam dikenai bunga? buka mata,buka pikiran, baca juga
    pohonbodhi.blogspot.com dan sebarkan... biar terbuka selama ini telah dibodohi oleh "mereka"

    BalasHapus