Sebelum terjadi Great Depression 1929, selama tahun 1920-an rakyat Amerika Serikat sangat menikmati hidup sejahtera, berkecukupan, dan masa depan AS pun tampak cerah secerah sinar mentari pagi. Rasa takut semasa Perang Dunia I berkecamuk telah berlalu dan hari-hari bahagia menanti di masa depan. Kondisi aman tentram adem ayem itu membuat AS menjadi negara yang sangat optimis. AS mulai mengembangkan industri manufakturnya. Dampaknya terhadap masyarakat, pola konsumsi yang berlebihan secara permanen mengubah wajah budaya masyarakat. Produksi barang-barang mewah meningkat. Kulkas, telepon, mobil- semua barang yang diinginkan oleh mayoritas warga AS seringkali dibeli secara kredit (ingat bagian yang ini, sengaja saya tebalkan agar Anda ingat saat saya beri penjelasan di akhir tulisan ini). Pada saat itu, pembelian secara kredit merupakan konsep baru. Sebelumnya rakyat AS lebih memilih membeli barang secara tunai.
Pada akhir era 1920-an, terjadi speculative boom. Ratusan ribu orang menanamkan uangnya di bursa saham secara agresif. Kenaikan harga saham terjadi secara terus menerus pada dekade tersebut menyebabkan para investor percaya bahwa saham adalah jaminan pasti bagi masa depan cerah keluarga mereka. Perusahaan pialang secara rutin meminjamkan uang kepada para investor sampai dengan 2/3 dari nilai investasi mereka untuk transaksi marjin. Besar total pinjaman yang diberikan pada saat itu mencapai $8.5 miliar, lebih besar daripada jumlah uang yang beredar di AS. Spekulasi ini menyebabkan semakin banyak orang yang terjun ke bursa saham dan semakin memperbesar gelembung yang terjadi.
Kamis, 24 Oktober 1929, Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun sebesar 2.09%. Pada hari itu, jumlah saham yang diperdagangkan mencapai 12.9 juta lembar, tiga kali lipat dari kondisi normal. Hari itu kemudian dikenal dengan istilah Black Thursday.
Senin, 28 Oktober 1929, DJIA mengalami penurunan tajam sebesar 13.47% dalam sehari (dari penutupun hari Jumat di 301.22 ke 260.64 pada penutupan perdagangan hari Senin). Hari itu kemudian dikenang sebagai Black Monday.
Selasa, 29 Oktober 1929, DJIA turun tajam sebesar 11.73% dengan volume yang sangat besar. Pada hari itu, jumlah saham yang diperdagangkan mencapai 16.4 juta lembar. Orang Amerika menyebut hari itu sebagai Black Tuesday. Rekor jumlah lembar saham yang diperdagangkan pada hari itu tidak terpecahkan sampai dengan 40 tahun kemudian pada tahun 1968.
DJIA terus merosot sampai ke titik nadirnya pada tanggal 8 Juli 1932 di 41,22. Penurunan dari titik tertinggi ke titik terendah adalah sekitar 89%. Level tertinggi DJIA di 386,1 yang dicapai pada tanggal 3 September 1929 tidak terlampaui sampai dengan tahun 1954.
Mungkin inilah krisis keuangan (crash) terburuk dalam sejarah Amerika Serikat. Crash ini telah memicu terjadinya depresi yang berkepanjangan. Pecahnya bubble yang menandai berakhirnya masa kemakmuran era 1920-an memberikan konsekuensi yang sangat berat bagi rakyat AS. Crash ini tidak hanya membawa korban dari kalangan investor di bursa saham semata, namun masyarakat AS pada umumnya turut menjadi korban. Saat depresi dimulai, sedikitnya jumlah pekerjaan yang tersedia serta sedikitnya jumlah uang yang dimiliki menjadi permasalahan yang menyebar ke seluruh pelosok negeri. Ribuan keluarga kehilangan rumahnya dan bergantung pada kebaikan hati sanak keluarga mereka yang lain. Perubahan sosial yang terjadi sangat besar dan berlangsung sangat lama. Salah satu dampak sosial dari krisis tersebut adalah perubahan struktur peranan masing-masing anggota keluarga. Pandangan tradisional bahwa hanya laki-laki yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga menjadi berubah karena sangat sulit untuk mencari lapangan perkerjaan. Istri dan anak-anak pun terpaksa bekerja agar dapat memenuhi kebutuhan hidup. Perubahan peran ini menyebabkan kerusakan keluarga sehingga mereka menjadi bingung dan frustasi. Banyak sekali pasangan suami-istri yang bercerai. Anak-anak dititipkan ke sanak famili sedangkan ayah dan ibunya bekerja mencari nafkah.
Ambil hikmahnya
Krisis keuangan jelas sangat merugikan banyak pihak. Tak ada seorang pun yang menginginkan peristiwa ini. Mari kita ambil hikmah dari peristiwa Great Depression 1929. Pertama, akar masalah atau asal muasal Great Depression 1929 identik dengan krisis keuangan lainnya, baik krisis di abad 17, 18, atau 19. Penyebabnya adalah utang. Manusia yang serakah telah kehilangan rasionya ketika berhadapan dengan materi, mereka nekad berutang meski tak memiliki kemampuan membayar kembali. Kedua, meski yang terjadi adalah krisis di sektor keuangan, namun krisis ini memiliki multiplier effects. Bidang kehidupan lain pun turut menerima imbasnya, terjadilah krisis multidimensi, krisis multisektor. Dari kedua hal tersebut, kesimpulannya adalah: hindari berutang jika kita ingin hidup sejahtera, aman, dan sentosa.
No Debt, No Crisis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar