Minggu lalu saya menikmati makan malam bersama para mitra kerja di Pangkalan Bun, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Sambil menanti pesanan ayam bakar tiba, salah satu mitra memperkenalkan saya dengan seorang pengusaha lokal yang memiliki rumah pribadi di Florida – Amerika Serikat. Cukup bangga juga mendengarnya, ada putra daerah yang mampu merambah properti di negeri Paman Sam. Sejak sekitar lima tahun yang lalu, membeli properti di AS menjadi hal yang sangat menguntungkan. Properti (terutama rumah tinggal) menjadi tidak bernilai, harganya murah banget. Kok bisa gitu? Itu semua karena kasus krisis Subprime Mortgage. Sebenarnya saya mau menjelaskan sendiri kasus itu dengan bahasa sendiri, tapi karena sudah ada tulisan yang menurut saya bagus, dan mampu menjelaskan dengan sangat baik, maka saya putuskan saja untuk mengutip karya Matt Mardana. Berikut ini penjelasannya.
Pada awal tahun 2007 di Amerika Serikat (AS) mulai terjadi sebuah krisis keuangan. Puncaknya terjadi pada September 2008, dimana beberapa lembaga keuangan raksasa dunia mengalami kebangkrutan. Kejadian ini menimbulkan kepanikan yang luar biasa. Para investor menarik dana investasi mereka demi melindungi nilainya. Indeks Nasdaq dan Down Jones mengalami penurunan yang drastis. Indeks Dow Jones merosot tajam dari level 13.056 menjadi 8.175 atau terkoreksi sekitar 37%. Sedangkan indeks Nasdaq dari level 2.600 turun menjadi level 1.521 atau terkoreksi 40%. Pemerintah AS pun melakukan tindakan. Melalui persetujuan dari DPR-nya, dana talangan sebesar US$700 miliar disiapkan. Tetapi tindakan itu tidak cukup untuk membendung krisis. Bahkan ada perkiraan bahwa dana tersebut akan membengkak menjadi US$1 triliun. Hal ini langsung berdampak pada bursa saham di negara-negara lain. Indeks Nikkei di Jepang dari level 14.600 turun ke level 7.621 atau terkoreksi 47%. Di Hongkong, indeks Hang Seng turun dari level 27.500 ke level 12.380 atau terkoreksi 40%. Di Indonesia, Bursa Efek Indonesia juga terkena dampak yang cukup parah. IHSG yang semula berada pada level 2.830 terkoreksi sebesar 59% atau turun ke level 1.174 pada 30 Oktober 2008. Pemerintah pun langsung mengambil langkah cepat untuk menenangkan pasar. Penutupan Bursa Efek Indonesia (BEI) selama 3 hari dan melakukan buy-back saham-saham BUMN merupakan beberapa langkah yang dilakukan. Penyebab utama dari krisis ini adalah suatu desain produk perbankan di AS yang dikenal dengan Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Subprime. KPR yang sangat booming mulai tahun 2001-2005 ini tumbuh sangat cepat, mencapai angka US$605 miliar pada tahun 2006 atau meningkat lima kali lipat dari tahun 2001.
KPR Subprime adalah sebuah kredit perumahan yang diperuntukkan bagi masyarakat Amerika Serikat (AS) yang memiliki kemampuan finansial yang kurang memadai (non bankable). KPR Subprime mulai diperkenalkan pada tahun 1930-an. Pada saat itu terjadi sebuah krisis di AS yang dikenal dengan Great Depression. Pemerintah AS mendesain KPR Subprime untuk masyarakat kelas menengah ke bawah agar dapat memenuhi kebutuhan perumahan mereka. Menyadari KPR ini mempunyai risiko yang lebih tinggi dibanding KPR komersial yang lainnya, maka pemerintah AS melalui Federal Housing Administration (FHA) yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Perumahan (Natonal Housing Act) memberikan asuransi bagi lender (perbankan). Pada tahun 2001 Bank Sentral AS menurunkan tingkat suku bunga dengan cukup tajam, yaitu menjadi 1%. Hal ini dilakukan dengan alasan untuk menggenjot perekonomian AS yang saat itu pertumbuhannya minus. Dengan diturunkannya tingkat suku bunga, masyarakat AS pun mulai melakukan pinjaman untuk membiayai kegiatan usaha. Ada juga yang mengambil kredit untuk komsumsi. Kegiatan ini memberikan pengaruh positf terhadap pertumbuhan ekonomi AS. Masyarakat yang memiliki tabungan pun mulai mengalihkan dananya untuk diinvestasikan. Karena tingkat suku bunga rendah maka tingkat bunga untuk Mortgage (KPR) juga rendah. Akhirnya banyak yang tertarik membeli rumah dengan KPR.
Melihat minat masyarakat untuk mengambil KPR semakin besar. Para pengembang properti yang mendapat pinjaman murah mulai melakukan ekspansi usaha. Tetapi dalam sektor ini, pembuatan produknya mempunyai waktu yang cukup lama. Akibatnya minat masyarakat AS yang tinggi, tidak dapat diserap sepenuhnya oleh para pelaku usaha properti sehingga harga properti mulai beranjak naik. Kenaikkan harga properti semakin meningkatkan minat masyarakat AS untuk membeli properti yang menyebabkan harganya semakin meningkat. Kenaikkan harga properti ini dimanfaatkan oleh masyarakat AS untuk mendapat tambahan pendapatan dengan melakukan yang disebut refinancing. Meskipun rumah yang mereka beli belum terjual atau dijual tetapi kenaikkan harga yang mereka harapkan sudah dinikmati, yaitu dengan cara mengambil pinjaman tambahan dengan jaminan rumah yang sama. Pinjaman ini digunakan untuk konsumsi atau untuk investasi di properti lain karena tergiur dengan harga yang menanjak dengan drastis. Hal seperti ini yang membuat harga properti semakin mahal. Pada masa itu juga, di dunia finansial terjadi beberapa perkembangan yang akan ikut memberikan sumbangan terhadap terjadinya krisis Subprime Mortgage.
Perkembangan yang pertama adalah berlomba-lombanya institusi keuangan dalam menawarkan kredit KPR demi mengejar keuntungan. Bagi institusi keuangan, mengucurkan KPR memang sangat menarik karena jangka waktu pinjaman yang relatif panjang (bisa mendapat bunga untuk periode yang lebih lama) serta adanya jaminan berupa rumah. Tetapi seiring berjalannya waktu, dalam prakteknya mulai timbul beberapa ekses buruk.Dalam rangka menjaring customer yang lebih banyak dan keuntungan yang lebih tinggi, mereka mulai menerima customer yang sebenarnya secara finansial kurang mampu dan tidak layak untuk mengambil KPR (misalnya penghasilan kecil dan tidak tetap). KPR yang dikucurkan pada orang-orang yang kurang layak inilah yang dikenal dengan Subprime Mortgage. Kualitas dari kredit KPR yang diberikan kepada customer semacam ini sangat meragukan dan beresiko, karena kemampuan pengambil KPR itu untuk membayar cicilannya sangat lemah. Meskipun demikian, bank-bank mau mengambil risiko dan mengucurkan kredit kepada segmen pasar ini karena tingkat bunga yang bisa mereka kenakan lebih tinggi (untungnya lebih besar). Selain itu institusi keuangan pada saat itu tidak berkeberatan karena mereka tetap mempunyai jaminan rumah dan berasumsi pasar properti akan naik terus.
Perkembangan kedua yang terjadi adalah semakin populernya sejenis KPR yang disebut ARM (Adjustable Rate Mortgage). Dalam rangka menarik customer agar mengambil KPR, institusi keuangan mengembangkan ARM yang pada intinya adalah KPR dimana tingkat suku bunganya dalam 2-3 tahun pertama sangat murah tetapi pada tahun selanjutnya akan naik lebih tinggi daripada KPR biasa. Banyak konsumen sektor properti yang lalu tertarik untuk mengambil KPR jenis ARM ini karena tergiur bunga awal yang sangat rendah. Pertimbangan tambahan mereka adalah sebelum masa 2-3 tahun itu habis, pasar properti pasti sudah naik lagi dan properti itu sudah akan mereka jual atau pun mereka bisa melakukan refinancing lagi dengan mengandalkan kenaikan harga itu.
Perkembangan ketiga yang terjadi adalah adalah maraknya pasar CDO (Collateralized Debt Obligation). Karena pasar KPR yang begitu aktif dan berkembang, institusi keuangan pun agak kewalahan untuk mengumpulkan dana yang bisa dipakai untuk memberikan KPR. Mereka pun mengembangkan produk yang namanya CDO (Collateralized Debt Obligation). Secara sederhana, CDO adalah obligasi. Dasar dari penerbitan obligasi CDO ini adalah KPR yang telah dikucurkan oleh bank ataupun institusi keuangan lainnya. Bunga yang dipakai untuk membayar bunga obligasi CDO adalah bunga yang mereka dapat dari kredit KPR yang telah mereka kucurkan. Dana yang didapat oleh institusi keuangan dari hasil penjualan obligasi CDO ini, lalu mereka kucurkan lagi untuk memberikan KPR, yang lalu mereka pakai untuk menerbitkan obligasi CDO lagi. Siklus ini kemudian juga terjadi berulang-ulang.
Tumbang
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara umum akan menimbulkan inflasi yang tinggi pula. Oleh karena itu, untuk mengendalikan tingkat inflasi tentunya suku bunga harus dinaikkan. Dalam kaitannya dengan mengontrol tingkat inflasi inilah, sekitar tahun 2004 pemerintah Amerika Serikat (dalam hal ini The Fed) pelan-pelan mulai menaikkan tingkat suku bunga. Seiring dengan dinaikkannya tingkat suku bunga oleh The Fed, perlahan-lahan tingkat suku bunga KPR mulai naik juga. Cicilan yang harus dibayar oleh para pengambil KPR pun mulai bergerak naik. Para pemilik rumah yang masih terikat KPR-nya mulai kelimpungan. Satu per satu mulai berguguran. Yang pertama-tama tumbang adalah customer yang kurang layak untuk mendapatkan KPR ini. Karena ketidakmampuan untuk membayar maka rumah mereka pun disita kemudian di lelang. Di lain sisi, para pengembang properti yang terbuai oleh pertumbuhan pasar properti sudah terlanjur membangun properti dalam jumlah yang besar.
Tingkat suku bunga yang mulai naik membuat calon pembeli mulai berkurang (karena untuk mengajukan KPR baru mulai mahal). Kombinasi dari properti baru yang belum terjual dan properti lama yang disita bank dan dilempar ke pasar, membuat pasar properti mulai kembung karena banyaknya properti yang tidak terjual. Akibatnya harga properti pun pelan-pelan mulai turun. Turunnya harga properti ini lalu membawa satu efek yang mengerikan. Orang-orang yang masih terikat KPR sekarang mengalami dilema. Di satu sisi, beban cicilan utang mereka kepada bank semakin besar (karena bunga naik), di lain sisi rumah mereka nilainya makin turun. Akibatnya mulai banyak timbul kasus dimana utang KPR seseorang kepada bank itu jumlahnya lebih besar daripada nilai rumahnya sekarang. Orang-orang ini pun tidak mempunyai motivasi untuk membayar cicilan KPR-nya karena memang secara ekonomi tidak masuk akal jika kita membayar 600 juta untuk suatu barang harga 400 juta. Orang-orang tidak membayar KPR-nya, rumah disita oleh bank dan kembali dilemparkan kembali ke pasar.
Timbul gelombang kedua banjir properti. Jumlah properti yang belum terjual semakin banyak dan harga semakin turun. Kini calon pembeli properti pun mulai memilih untuk wait & see. Di satu sisi, supply rumah yang dijual semakin banyak sedangkan di sisi lain pembeli semakin berkurang. Pasar properti pun semakin khawatir karena penurunan harga semakin cepat. Siklus yang menyakitkan di atas pun berulang, semakin lama semakin cepat, persis seperti bola salju menggelinding turun gunung seperti yang sering kita lihat di kartun (snowball effect). Dalam keadaan pasar properti yang sudah sempoyongan seperti ini, muncul lagi sebuah serangan yang memukul dengan keras. Pada akhir tahun 2005 atau awal tahun 2006, KPR ARM yang sudah diambil masyarakat AS pun mulailah terasa. Semakin berat lagi beban cicilan bunga, semakin banyak yang tidak kuat bayar dan rumahnya kena sita.
Meletusnya bubble di sektor properti ini sendiri tidak berakhir di sini, melainkan lalu menyebabkan pecahnya bubble lainnya, yaitu bubble derivatif yang kemudian menimbulkan Credit Crisis (Krisis Kredit). Panjangnya urutan derivatif yang berbasiskan KPR Subprime menyebabkan dampak KPR Subprime menjadi sangat besar. Sebabnya, kredit perumahan bermasalah tak hanya berakhir pada nilai outstanding KPR Subprime AS yang mencapai US$605 miliar tersebut, melainkan terkait juga dengan nilai utang bermasalah yang ditimbulkan oleh berbagai derivatif KPR Subprime. Meski sejumlah lembaga keuangan telah menyebut proyeksi angka kerugian, namun demikian, tidak ada yang bisa memperkirakan jumlah pasti kerugian atau utang yang disebabkan seluruh derivatif KPR Subprime.
Proses penciptaan beragam produk keuangan derivatif yang dihasilkan dari KPR Subprime adalah sebagai berikut. Pertama, pihak bank menjual KPR Subprime-nya kepada lembaga keuangan yang disponsori pemerintah (government-sponsored enterprises) di bidang perumahan yaitu Fannie Mae dan Freddie Mac yang merupakan perusahaan kredit perumahan terbesar di AS. Kedua, oleh Fannie Mae dan Freddie Mac, KPR Subprime tersebut disekuritisasi dengan menerbitkan instrumen utang derivatif bernama Mortgage Backed Securites (MBS). Ketiga, sejumlah MBS lalu dibeli oleh investment bank seperti Lehman Brothers, Morgan Stanley, UBS, HSBC, dan lain-lain. Berbagai investment bank ini kemudian melakukan sekuritasi atas MBS (sekuritisasi atas sekuritisasi) dengan menerbitkan Collateralized Debt Obligation (CDO). Langkah sekuritasasi ini terus berlanjut sehingga menghasilkan CDO turunan, synthetic CDO atau credit link note (CLN). Semua produk derivatif itu diperdagangkan di pasar keuangan di AS dan dibeli investor dari berbagai negara. Nah, situasi inilah yang menyebabkan jangkauan krisis keuangan di AS menjadi sangat dalam dan luas yang sulit untuk diatasi. Ditambah lagi dengan bangkrutnya lembaga-lembaga finansial dunia memperparah keadaan. Bursa saham dilanda kepanikan. Imbasnya seluruh bursa saham di dunia mengalami koreksi yang cukup tajam termasuk Bursa Efek Indonesia.
Butir Hikmah
Sekali lagi kita perlu belajar dari sejarah atau mengambil hikmah dari pengalaman orang lain. KPR Subprime sebenarnya adalah bentuk utang yang unsustainable, jumlahnya terlalu besar dan tak tertanggung lagi bagi mereka yang tak mempunyai kemampuan membayar. Dengan demikian, jelaslah hikmah yang dapat kita petik adalah: silakan ngutang, asalkan mampu melunasi, dan lepas dari riba.
Pada awal tahun 2007 di Amerika Serikat (AS) mulai terjadi sebuah krisis keuangan. Puncaknya terjadi pada September 2008, dimana beberapa lembaga keuangan raksasa dunia mengalami kebangkrutan. Kejadian ini menimbulkan kepanikan yang luar biasa. Para investor menarik dana investasi mereka demi melindungi nilainya. Indeks Nasdaq dan Down Jones mengalami penurunan yang drastis. Indeks Dow Jones merosot tajam dari level 13.056 menjadi 8.175 atau terkoreksi sekitar 37%. Sedangkan indeks Nasdaq dari level 2.600 turun menjadi level 1.521 atau terkoreksi 40%. Pemerintah AS pun melakukan tindakan. Melalui persetujuan dari DPR-nya, dana talangan sebesar US$700 miliar disiapkan. Tetapi tindakan itu tidak cukup untuk membendung krisis. Bahkan ada perkiraan bahwa dana tersebut akan membengkak menjadi US$1 triliun. Hal ini langsung berdampak pada bursa saham di negara-negara lain. Indeks Nikkei di Jepang dari level 14.600 turun ke level 7.621 atau terkoreksi 47%. Di Hongkong, indeks Hang Seng turun dari level 27.500 ke level 12.380 atau terkoreksi 40%. Di Indonesia, Bursa Efek Indonesia juga terkena dampak yang cukup parah. IHSG yang semula berada pada level 2.830 terkoreksi sebesar 59% atau turun ke level 1.174 pada 30 Oktober 2008. Pemerintah pun langsung mengambil langkah cepat untuk menenangkan pasar. Penutupan Bursa Efek Indonesia (BEI) selama 3 hari dan melakukan buy-back saham-saham BUMN merupakan beberapa langkah yang dilakukan. Penyebab utama dari krisis ini adalah suatu desain produk perbankan di AS yang dikenal dengan Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Subprime. KPR yang sangat booming mulai tahun 2001-2005 ini tumbuh sangat cepat, mencapai angka US$605 miliar pada tahun 2006 atau meningkat lima kali lipat dari tahun 2001.
KPR Subprime adalah sebuah kredit perumahan yang diperuntukkan bagi masyarakat Amerika Serikat (AS) yang memiliki kemampuan finansial yang kurang memadai (non bankable). KPR Subprime mulai diperkenalkan pada tahun 1930-an. Pada saat itu terjadi sebuah krisis di AS yang dikenal dengan Great Depression. Pemerintah AS mendesain KPR Subprime untuk masyarakat kelas menengah ke bawah agar dapat memenuhi kebutuhan perumahan mereka. Menyadari KPR ini mempunyai risiko yang lebih tinggi dibanding KPR komersial yang lainnya, maka pemerintah AS melalui Federal Housing Administration (FHA) yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Perumahan (Natonal Housing Act) memberikan asuransi bagi lender (perbankan). Pada tahun 2001 Bank Sentral AS menurunkan tingkat suku bunga dengan cukup tajam, yaitu menjadi 1%. Hal ini dilakukan dengan alasan untuk menggenjot perekonomian AS yang saat itu pertumbuhannya minus. Dengan diturunkannya tingkat suku bunga, masyarakat AS pun mulai melakukan pinjaman untuk membiayai kegiatan usaha. Ada juga yang mengambil kredit untuk komsumsi. Kegiatan ini memberikan pengaruh positf terhadap pertumbuhan ekonomi AS. Masyarakat yang memiliki tabungan pun mulai mengalihkan dananya untuk diinvestasikan. Karena tingkat suku bunga rendah maka tingkat bunga untuk Mortgage (KPR) juga rendah. Akhirnya banyak yang tertarik membeli rumah dengan KPR.
Melihat minat masyarakat untuk mengambil KPR semakin besar. Para pengembang properti yang mendapat pinjaman murah mulai melakukan ekspansi usaha. Tetapi dalam sektor ini, pembuatan produknya mempunyai waktu yang cukup lama. Akibatnya minat masyarakat AS yang tinggi, tidak dapat diserap sepenuhnya oleh para pelaku usaha properti sehingga harga properti mulai beranjak naik. Kenaikkan harga properti semakin meningkatkan minat masyarakat AS untuk membeli properti yang menyebabkan harganya semakin meningkat. Kenaikkan harga properti ini dimanfaatkan oleh masyarakat AS untuk mendapat tambahan pendapatan dengan melakukan yang disebut refinancing. Meskipun rumah yang mereka beli belum terjual atau dijual tetapi kenaikkan harga yang mereka harapkan sudah dinikmati, yaitu dengan cara mengambil pinjaman tambahan dengan jaminan rumah yang sama. Pinjaman ini digunakan untuk konsumsi atau untuk investasi di properti lain karena tergiur dengan harga yang menanjak dengan drastis. Hal seperti ini yang membuat harga properti semakin mahal. Pada masa itu juga, di dunia finansial terjadi beberapa perkembangan yang akan ikut memberikan sumbangan terhadap terjadinya krisis Subprime Mortgage.
Perkembangan yang pertama adalah berlomba-lombanya institusi keuangan dalam menawarkan kredit KPR demi mengejar keuntungan. Bagi institusi keuangan, mengucurkan KPR memang sangat menarik karena jangka waktu pinjaman yang relatif panjang (bisa mendapat bunga untuk periode yang lebih lama) serta adanya jaminan berupa rumah. Tetapi seiring berjalannya waktu, dalam prakteknya mulai timbul beberapa ekses buruk.Dalam rangka menjaring customer yang lebih banyak dan keuntungan yang lebih tinggi, mereka mulai menerima customer yang sebenarnya secara finansial kurang mampu dan tidak layak untuk mengambil KPR (misalnya penghasilan kecil dan tidak tetap). KPR yang dikucurkan pada orang-orang yang kurang layak inilah yang dikenal dengan Subprime Mortgage. Kualitas dari kredit KPR yang diberikan kepada customer semacam ini sangat meragukan dan beresiko, karena kemampuan pengambil KPR itu untuk membayar cicilannya sangat lemah. Meskipun demikian, bank-bank mau mengambil risiko dan mengucurkan kredit kepada segmen pasar ini karena tingkat bunga yang bisa mereka kenakan lebih tinggi (untungnya lebih besar). Selain itu institusi keuangan pada saat itu tidak berkeberatan karena mereka tetap mempunyai jaminan rumah dan berasumsi pasar properti akan naik terus.
Perkembangan kedua yang terjadi adalah semakin populernya sejenis KPR yang disebut ARM (Adjustable Rate Mortgage). Dalam rangka menarik customer agar mengambil KPR, institusi keuangan mengembangkan ARM yang pada intinya adalah KPR dimana tingkat suku bunganya dalam 2-3 tahun pertama sangat murah tetapi pada tahun selanjutnya akan naik lebih tinggi daripada KPR biasa. Banyak konsumen sektor properti yang lalu tertarik untuk mengambil KPR jenis ARM ini karena tergiur bunga awal yang sangat rendah. Pertimbangan tambahan mereka adalah sebelum masa 2-3 tahun itu habis, pasar properti pasti sudah naik lagi dan properti itu sudah akan mereka jual atau pun mereka bisa melakukan refinancing lagi dengan mengandalkan kenaikan harga itu.
Perkembangan ketiga yang terjadi adalah adalah maraknya pasar CDO (Collateralized Debt Obligation). Karena pasar KPR yang begitu aktif dan berkembang, institusi keuangan pun agak kewalahan untuk mengumpulkan dana yang bisa dipakai untuk memberikan KPR. Mereka pun mengembangkan produk yang namanya CDO (Collateralized Debt Obligation). Secara sederhana, CDO adalah obligasi. Dasar dari penerbitan obligasi CDO ini adalah KPR yang telah dikucurkan oleh bank ataupun institusi keuangan lainnya. Bunga yang dipakai untuk membayar bunga obligasi CDO adalah bunga yang mereka dapat dari kredit KPR yang telah mereka kucurkan. Dana yang didapat oleh institusi keuangan dari hasil penjualan obligasi CDO ini, lalu mereka kucurkan lagi untuk memberikan KPR, yang lalu mereka pakai untuk menerbitkan obligasi CDO lagi. Siklus ini kemudian juga terjadi berulang-ulang.
Tumbang
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara umum akan menimbulkan inflasi yang tinggi pula. Oleh karena itu, untuk mengendalikan tingkat inflasi tentunya suku bunga harus dinaikkan. Dalam kaitannya dengan mengontrol tingkat inflasi inilah, sekitar tahun 2004 pemerintah Amerika Serikat (dalam hal ini The Fed) pelan-pelan mulai menaikkan tingkat suku bunga. Seiring dengan dinaikkannya tingkat suku bunga oleh The Fed, perlahan-lahan tingkat suku bunga KPR mulai naik juga. Cicilan yang harus dibayar oleh para pengambil KPR pun mulai bergerak naik. Para pemilik rumah yang masih terikat KPR-nya mulai kelimpungan. Satu per satu mulai berguguran. Yang pertama-tama tumbang adalah customer yang kurang layak untuk mendapatkan KPR ini. Karena ketidakmampuan untuk membayar maka rumah mereka pun disita kemudian di lelang. Di lain sisi, para pengembang properti yang terbuai oleh pertumbuhan pasar properti sudah terlanjur membangun properti dalam jumlah yang besar.
Tingkat suku bunga yang mulai naik membuat calon pembeli mulai berkurang (karena untuk mengajukan KPR baru mulai mahal). Kombinasi dari properti baru yang belum terjual dan properti lama yang disita bank dan dilempar ke pasar, membuat pasar properti mulai kembung karena banyaknya properti yang tidak terjual. Akibatnya harga properti pun pelan-pelan mulai turun. Turunnya harga properti ini lalu membawa satu efek yang mengerikan. Orang-orang yang masih terikat KPR sekarang mengalami dilema. Di satu sisi, beban cicilan utang mereka kepada bank semakin besar (karena bunga naik), di lain sisi rumah mereka nilainya makin turun. Akibatnya mulai banyak timbul kasus dimana utang KPR seseorang kepada bank itu jumlahnya lebih besar daripada nilai rumahnya sekarang. Orang-orang ini pun tidak mempunyai motivasi untuk membayar cicilan KPR-nya karena memang secara ekonomi tidak masuk akal jika kita membayar 600 juta untuk suatu barang harga 400 juta. Orang-orang tidak membayar KPR-nya, rumah disita oleh bank dan kembali dilemparkan kembali ke pasar.
Timbul gelombang kedua banjir properti. Jumlah properti yang belum terjual semakin banyak dan harga semakin turun. Kini calon pembeli properti pun mulai memilih untuk wait & see. Di satu sisi, supply rumah yang dijual semakin banyak sedangkan di sisi lain pembeli semakin berkurang. Pasar properti pun semakin khawatir karena penurunan harga semakin cepat. Siklus yang menyakitkan di atas pun berulang, semakin lama semakin cepat, persis seperti bola salju menggelinding turun gunung seperti yang sering kita lihat di kartun (snowball effect). Dalam keadaan pasar properti yang sudah sempoyongan seperti ini, muncul lagi sebuah serangan yang memukul dengan keras. Pada akhir tahun 2005 atau awal tahun 2006, KPR ARM yang sudah diambil masyarakat AS pun mulailah terasa. Semakin berat lagi beban cicilan bunga, semakin banyak yang tidak kuat bayar dan rumahnya kena sita.
Meletusnya bubble di sektor properti ini sendiri tidak berakhir di sini, melainkan lalu menyebabkan pecahnya bubble lainnya, yaitu bubble derivatif yang kemudian menimbulkan Credit Crisis (Krisis Kredit). Panjangnya urutan derivatif yang berbasiskan KPR Subprime menyebabkan dampak KPR Subprime menjadi sangat besar. Sebabnya, kredit perumahan bermasalah tak hanya berakhir pada nilai outstanding KPR Subprime AS yang mencapai US$605 miliar tersebut, melainkan terkait juga dengan nilai utang bermasalah yang ditimbulkan oleh berbagai derivatif KPR Subprime. Meski sejumlah lembaga keuangan telah menyebut proyeksi angka kerugian, namun demikian, tidak ada yang bisa memperkirakan jumlah pasti kerugian atau utang yang disebabkan seluruh derivatif KPR Subprime.
Proses penciptaan beragam produk keuangan derivatif yang dihasilkan dari KPR Subprime adalah sebagai berikut. Pertama, pihak bank menjual KPR Subprime-nya kepada lembaga keuangan yang disponsori pemerintah (government-sponsored enterprises) di bidang perumahan yaitu Fannie Mae dan Freddie Mac yang merupakan perusahaan kredit perumahan terbesar di AS. Kedua, oleh Fannie Mae dan Freddie Mac, KPR Subprime tersebut disekuritisasi dengan menerbitkan instrumen utang derivatif bernama Mortgage Backed Securites (MBS). Ketiga, sejumlah MBS lalu dibeli oleh investment bank seperti Lehman Brothers, Morgan Stanley, UBS, HSBC, dan lain-lain. Berbagai investment bank ini kemudian melakukan sekuritasi atas MBS (sekuritisasi atas sekuritisasi) dengan menerbitkan Collateralized Debt Obligation (CDO). Langkah sekuritasasi ini terus berlanjut sehingga menghasilkan CDO turunan, synthetic CDO atau credit link note (CLN). Semua produk derivatif itu diperdagangkan di pasar keuangan di AS dan dibeli investor dari berbagai negara. Nah, situasi inilah yang menyebabkan jangkauan krisis keuangan di AS menjadi sangat dalam dan luas yang sulit untuk diatasi. Ditambah lagi dengan bangkrutnya lembaga-lembaga finansial dunia memperparah keadaan. Bursa saham dilanda kepanikan. Imbasnya seluruh bursa saham di dunia mengalami koreksi yang cukup tajam termasuk Bursa Efek Indonesia.
Butir Hikmah
Sekali lagi kita perlu belajar dari sejarah atau mengambil hikmah dari pengalaman orang lain. KPR Subprime sebenarnya adalah bentuk utang yang unsustainable, jumlahnya terlalu besar dan tak tertanggung lagi bagi mereka yang tak mempunyai kemampuan membayar. Dengan demikian, jelaslah hikmah yang dapat kita petik adalah: silakan ngutang, asalkan mampu melunasi, dan lepas dari riba.
Betul sekali, jangan memiliki hutang tak tertanggung!
BalasHapusTetapi bagaimana penghutang bisa tau, kalau pada saat sekarang utang masih tertanggung, tetapi karena suku bunga dinaikan, tiba-tiba utangnya menjadi tidak tertanggung?
Sedangkan otoritas yang bisa menaikan suku bunga adalah bank sentral. Ini menjadi fenomena diluar kontrol si penghutang dan dia akan menjadi korban saja.
Sebuah dilema dalam sistim ekonomi kapitalis, dimana pembenaran terhadap kebijakan ekonomi hanya didasarkan pada rasional pasar.
AS telah mengalami dua kali krisis ekonomi yang maha dahsyat, yaitu pada tahun 1929 dan 2007. Pemulihan memakan waktu hampir sepuluh tahun. Sedangkan dalam kurun waktu tsb, AS juga mengalami lagi 11 kali krisis ekonomi lainnya.
Ini berarti adanya kelemahan fundamental dalam sistim ekonomi kapitalis. Sistim ini memiliki ciri "boom and bust" yang inheren.
Suatu sistim ekonomi yang buruk bagi masa depan kelangsungan kesejahteraan umat manusia dan harus dipertanyakan apakah masih relevan untuk dipraktekan dimasa mendatang. Bila suatu saat ranking PDB kita sudah mendekati negara maju, apakah RI harus mengalami krisis-krisis yang sama seperti dialami oleh AS dan Eropah sekarang ?
Apakah ada sistim yang lebih baik?
Apakah sistim lain dapat "co-exist" dengan sistim kapitalis?
Apakah sistim ekonomi Pancasilais dapat berkembang di RI?
Apakah ada jaminan RI tidak akan mengalami krisis lagi?
Mari kita diskusikan!