Selasa, Homma tiba di pasar beras. Sekelompok petani manarik kereta mereka yang memuat beras dan bergerak menuju pusat kota. Di sana, para pedagang akan memeriksa dan melakukan tawar-menawar dengan para petani dan perwakilan mereka untuk menentukan harga beras hari ini, baik untuk beras yang berasal dari petani lokal maupun dari daerah pedalaman. Para petani dan agen mereka suka berkumpul. Panen di awal musim ternyata cukup berhasil, beras yang dihasilkan lumayan baik kualitasnya, tetapi sayang bisnis beras sedang lesu. Para pedagang tak punya hasrat untuk membeli, mereka minum teh sambil bersenda gurau.
Para pedagang besar di Osaka memperlihatkan sikap cuek. Hanya duduk dengan tenang dan tidak menunjukkan kemauan membeli. Taktik ini selalu menjatuhkan mental para petani. Pembeli besar menggunakan kartel informal yang mengendalikan harga beras. Mereka bisa mendapatkan beras hanya dengan menunggu. Para petani punya beras lebih di ladang mereka dan panen besar akan datang dari daerah perkembangan beras ke Utara dan pedalaman. “Ya”, kata mereka kepada petani lokal, “ini adalah panen beras yang bagus; para dewa tersenyum dan kamu juga beruntung; tapi maaf, gudang kami penuh dan tidak ada orang yang membeli beras, kami tidak begitu berminat membeli beras hari ini”.
Dengan tenang Homma memulai bisnisnya, menyapa para petani, menanyakan kesehatan mereka dan keluarganya, dan membeli beras mereka. Sepanjang hari, pedagang lain memperhatikan Homma yang dengan tenang menyapa petani di pasar kemudian membeli, membeli, dan membeli. Apa yang ia lakukan? Mengapa ia membeli? Tidakkkah dia tau bahwa sekarang adalah awal masa panen dan harga beras akan cenderung turun ketika semakin banyak beras yang masuk ke pasar? Anak bodoh; tidak bisa bersabar; memalukan sekali buat keluarganya! Ini bukanlah cara pedagang beras Osaka. Ini adalah hari kedua.
Rabu, proses berulang. Homma tetap membeli, sementara pedagang lain mengabaikan petani baru yang datang ke pasar dengan kereta yang membawa karung-karung berisi beras baru. Hari ini terlihat jelas bahwa pasokan beras yang tiba di pasar lebih sedikit daripada kemarin. Kartel sekarang terang-terangan menghina Homma karena melihat ia kembali dengan tenang membeli beras. Homma tak gelisah, ia tahu bahwa orang lain tak tahu, karena Homma memiliki hampir semua "permata" yang ada di pasar. Homma punya mata pisau! Mata pisaunya adalah bahwa ia tahu tentang pasar yang pedagang lain tidak tahu. Dalam istilah modern ia punya keuntungan kompetitif yang besar.
Pada tengah hari, seekor kuda yang kehausan dan penunggangnya yang kusut tiba di pusat kota. Sang penunggang bergegas menemui pemimpin pedagang Osaka, berjongkok di dekatnya dan membisikkan sesuatu. Pelayan berita menyampaikan kenyataan kepada pedagang. Penunggang dari Utara datang untuk membawa berita buruk kepada kartel pedagang. Hujan yang terjadi di luar musim pada mayoritas daerah pertumbuhan menggagalkan panen tahunan! tidak akan ada panen berlimpah tahun ini dan harga beras akan terus naik seiring kelangkaan beras.
Sekarang pedagang Osaka bergerak dengan rasa cemas dan bergegas menemui petani. Tanpa cadangan yang berlimpah, mereka datang karena situasi, mereka harus membeli apa yang bisa dibeli dari pasokan lokal. “Maaf”, kata si petani besar, “semua persediaan beras saya sudah dijual ke Homma”. “Apa yang akan kamu bawa ke Osaka besok” tanya si pedagang. “Maaf” ulang si petani, “Semua hasil panen tahun ini dari sawah saya sudah dijual ke Homma”. Cerita yang sama terus berulang dengan petani yang lain. Hanya ada sedikit beras yang akan dibawa ke seluruh Osaka.
Homma telah menguasai pasar beras Osaka! Ini adalah hari ketiga.
Jumat, 06 Juni 2008
Munehisa Homma (Bagian 4)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar