Google
 

Senin, 24 Januari 2011

Dampak Krisis Finansial (1)

Pada postingan yang lalu, saya bercerita tentang seorang pengusaha yang terkena dampak destruktif krisis finansial. Sebenarnya, tak hanya pengusaha saja yang merasakan dampak tertentu jika terjadi krisis finansial, tetapi--sadar maupun tidak sadar--setiap individu juga akan mengalami dampak yang destruktif itu. Dampak krisis finansial yang nyata dirasakan oleh masyarakat luas adalah kenaikan harga barang-barang kebutuhan hidup. Sebagian besar rakyat Indonesia tidak ada hubungan langsung dengan sebab krisis tetapi rakyatlah yang menjadi pihak paling menderita. Rakyat seperti ikut menanggung penderitaan akibat kekeliruan para pelaku utang Ponzi di sektor keuangan. Serangan krisis finansial tak hanya mengancam keamanan nasional, tetapi juga menjadi ancaman bagi keamanan individu (human security). Krisis finansial akan menimbulkan penderitaan manusia (human suffering) yang luar biasa, bahkan penderitaan yang lebih dahsyat lagi ketimbang penderitaan yang diderita rakyat akibat perang fisik. Penderitaan yang lebih parah itu adalah setiap individu kehilangan peluang (opportunity lost) untuk hidup lebih sejahtera.
 

Akibat krisis finansial, banyak perusahaan yang bangkrut sehingga banyak karyawan yang mengalami PHK, akibatnya angka pengangguran meningkat. Banyak orang yang menganggur akan meningkatkan jumlah orang yang mati perlahan karena lapar atau sakit, banyak anak yang putus sekolah karena biaya pendidikan yang semakin tinggi sementara orang tuanya tidak mampu lagi membiayai karena tidak punya pekerjaan dan penghasilan, lalu terjadilah kekacauan sosial. Hal yang lebih mengerikan lagi adalah semua penderitaan dan kekacauan akibat krisis finansial akan sangat sulit dipulihkan dalam waktu singkat, butuh waktu yang sangat lama untuk pulih atau meraih kembali kesejahteraan hidup setelah terjadi opportunity lost. Krisis keuangan tidak hanya berdampak pada lembaga-lembaga keuangan tetapi juga pada perusahaan-perusahaan besar yang selama periode ekonomi stabil dimanjakan oleh kucuran kredit dari lembaga keuangan dan pasar modal. Namun, mereka lebih beruntung ketika terjadi krisis. Sebagian mendapat bantuan kredit baru untuk mencegah pailit berdasarkan prinsip too big too fail atau menjual asetnya dengan harga mahal kepada pemerintah. Semua jenis bantuan tersebut tentu ada biayanya yang juga harus dibayar oleh pemerintah. Konsekuensinya, mulailah kenyamanan yang selama ini dinikmati dicabut seperti harga BBM naik, pendidikan dan kesehatan mahal, dan pembangunan infrastruktur terbengkalai. Akibatnya masyarakat yang tidak terkait langsung dengan industri keuangan ikut menanggung beban. 

Sejak krisis keuangan menimpa Indonesia tahun 1997, perekonomian Indonesia belum dapat pulih secara maksimal. Meski tanda-tanda pemulihan krisis ekonomi mulai nampak, namun belum menunjukkan sinyal yang sangat prospektif. Krisis ekonomi membawa ekonomi Indonesia pada ekonomi stagflasi (ekonomi riil yang macet dan hiper-inflasi). Sejak krisis, angka kemiskinan dan pengangguran masih tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 17,7 persen atau 39 juta penduduk Indonesia tergolong kategori penduduk miskin. Pengangguran sebanyak 10,4 persen. Diantara 100 juta angkatan kerja yang menganggur, 10,5 juta pengangguran terbuka. Pemiskinan instan dan hilangnya potensi keuntungan ekonomi adalah dampak terburuk krisis finansial. Hanya dalam waktu relatif sangat singkat pendapatan per kapita Indonesia lenyap sebesar US$ 120 milyar per tahun atau setara dengan kehilangan daya beli Rp 1.080 triliun per tahun pada krisis finansial tahun 1997. Saat itu, dapat diibaratkan setiap orang Indonesia secara tiba-tiba kecopetan uang di dompet sebesar masing-masing Rp 5,8 juta. Sisa uang yang ada hanya dapat membeli separuh dari barang dan jasa yang akan digunakan selama setahun penuh. Ini adalah proses pemiskinan terhadap rakyat yang luar biasa besarnya. Bila diukur dengan kurs US$ pada waktu itu, Indonesia mengalami kemerosotan anggaran sebesar Rp 216 triliun per tahun. Negara mengeluarkan biaya yang sangat besar guna keluar dari krisis dengan menerbitkan surat utang sebesar Rp 600 triliun untuk penyelamatan perbankan melalui penggantian BLBI dan rekapitalisasi perbankan, dan kini total utang Indonesia hingga tahun 2038 mencapai angka Rp 1.654,19 triliun, padahal ekuitas dana netto (kekayaan bersih negara) tahun 2010 hanya sebesar Rp 619,47 triliun. 

Meningkatnya jumlah penduduk miskin tidak terlepas dari jatuhnya nilai tukar rupiah yang tajam, yang menyebabkan terjadinya kesenjangan antara penghasilan yang berkurang karena PHK atau naik sedikit dengan pengeluaran yang meningkat tajam karena tingkat inflasi yang tinggi, sehingga bila nilai tukar rupiah bisa dikembalikan ke nilai nyatanya maka biaya besar yang dibutuhkan untuk social safety net ini bisa dikurangi secara drastis. Namun, secara keseluruhan dampak negatif dari jatuhnya nilai tukar rupiah masih lebih besar dari dampak positifnya. Kondisi ini biasanya ditunjukkan oleh tingkat pengangguran (unemployment rate) yang meningkat melebihi siklus penurunan yang biasanya terjadi. Menurunnya kepercayaan terhadap kemampuan pemerintah dalam menangani dan mengatasi krisis, yang kemudian menjelma menjadi krisis kepercayaan dan keengganan donor untuk menawarkan bantuan finansial dengan cepat. Investor asing yang pada awalnya membeli saham besar-besaran dengan harapan keuntungan yang besar karena ditunjang oleh perkembangan ekonomi yang relatif stabil kemudian mulai menarik dananya keluar dalam jumlah besar. Setelah nilai tukar Rupiah tambah melemah dan terjadi krisis kepercayaan, dana modal asing terus mengalir ke luar negeri meskipun dicoba ditahan dengan tingkat bunga yang tinggi atas surat-surat berharga Indonesia. Imbas dari kemerosotan nilai tukar rupiah yang tajam secara umum antara lain: kesulitan menutup APBN, harga telur/ayam naik, utang luar negeri dalam rupiah melonjak, harga BBM naik, tarif listrik naik, tarif angkutan naik, perusahaan tutup atau mengurangi produksinya karena tidak bisa menjual barangnya dan beban utang yang tinggi, toko sepi, PHK dimana-mana, investasi menurun karena impor barang modal menjadi mahal, dan biaya sekolah di luar negeri melonjak. Meski petani yang berbasis ekspor penghasilannya dalam rupiah mendadak melonjak drastis, namun bagi konsumen dalam negeri harga beras, gula, kopi dan sebagainya ikut naik. Hal yang serupa juga terjadi untuk ekspor barang manufaktur, hanya di sini ada kesulitan lain untuk meningkatkan ekspor karena ada masalah dengan pembukaan L/C dan keadaan sosial-politik yang belum menentu sehingga pembeli di luar negeri mengalihkan pesanan barangnya ke negara lain. Dampak ke sektor ekonomi akan semakin parah jika terjadi pelarian modal yang mengakibatkan kurs rupiah melemah tajam dan suku bunga meningkat yang bertahan selama lebih dari tiga bulan. Kondisi ini akan mengakibatkan daya saing produk Indonesia menurun di pasar internasional karena harganya menjadi lebih mahal. Selain itu, di dalam negeri pun produk domestik juga kalah saing dengan produk sejenis dari negara-negara lain yang lebih murah harganya (Cina, Vietnam, dll). Pada akhirnya, industri dalam negeri akan kesulitan berproduksi dan kondisi bertambah berat jika bank-bank juga untuk sementara menghentikan pemberian kredit melihat situasi yang kurang kondusif. Kemungkinan terburuk adalah ketidakmampuan industri untuk mengembalikan cicilan utang kepada bank, yang pada akhirnya akan meningkatkan jumlah kredit bermasalah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar