Google
 

Rabu, 26 Januari 2011

Dampak Krisis Finansial (2)

Krisis finansial pasca krisis fiskal di Yunani terasa kecil pengaruhnya terhadap ekonomi Indonesia. Hal ini terjadi karena eksisnya integrasi jaringan produksi (production network) dimana negara-negara di Asia Tenggara banyak mengekspor bahan mentah dan barang antara ke pusat-pusat jaringan produksi seperti Cina, Korea, dan Jepang. Walau demikian, karena konsumen akhir dari barang jadi itu juga negara-negara maju, rakyat Indonesia secara tak langsung merasakan dampaknya. Produk ekspor yang mengalami dampak akibat tingginya persaingan di pasar internasional terkait dengan pelemahan pasar di AS, Uni Eropa, dan Jepang antara lain tekstil, produk tekstil (TPT), produk karet, produk kayu, pulp dan kertas, minyak sawit, serta produk-produk logam. Di sisi lain, sebagai pasar yang sangat potensial Indonesia kini makin kebanjiran produk impor terutama dari Cina, India, Singapura, dan negara Asia lainnya yang mengalihkan pasar utama mereka dari AS dan Eropa ke Asia. Produk tersebut antara lain TPT, baja, produk elektronik, keramik, makanan dan minuman, serta produk kayu.
 


Jika dilihat dari sisi fundamental ekonomi, kondisi perbankan Indonesia masih relatif kuat yang dicirikan oleh kredit bermasalah perbankan (Non Performing Loan / NPL gross) yang lebih kecil dari 5% yang menunjukkan masih sehatnya sistem intermediasi, Loan to Deposit Ratio (LDR) lebih kecil daripada 80% yang menunjukkan masih cukupnya likuiditas, Capital Adequacy Ratio (CAR) sekitar 16% (Agustus 2008) yang menunjukkan kuatnya permodalan bank, tingkat depresiasi rupiah lebih kecil daripada 5% yang menunjukkan stabilnya nilai rupiah, inflasi cukup terkendali, cadangan devisa yang cukup untuk empat bulan impor (per 7 Oktober 2008 USD 52,4 miliar). 

Walaupun demikian, kondisi fundamental ekonomi Indonesia sebenarnya masih kurang kuat karena pertumbuhan ekonomi selama beberapa tahun terakhir ini tidak mampu melebihi tiga kali pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan penduduk saat ini menurut Badan Pusat Statistik (BPS) adalah 2,6%, sehingga agar fundamental ekonomi kuat dibutuhkan 7,8% pertumbuhan ekonomi. Hal yang belum pernah tercapai selama beberapa tahun terakhir ini. Disamping itu, kontribusi sektor manufaktur juga mulai menurun, sehingga akan memperlemah fundamental ekonomi. Misalnya di tahun 2006 kontribusi manufaktur terhadap pendapatan nasional mencapai 27,5 % namun turun menjadi 27% tahun 2007 dan menjadi 26% pada tahun 2008.
 

Di dunia perbankan, dampak krisis finansial dapat berupa: (i) kredit macet terutama di kartu kredit karena hal ini paling mudah dilakukan debitur; (ii) Kredit Perumahan Rakyat (KPR) akan terhambat, bahkan termasuk kredit properti rumah/apartemen mewah dan kredit KPR untuk rumah pertama (Rp 150 juta sampai Rp 1 miliar); (iii) perusahaan multifinance akan kesulitan memperoleh kredit bank sehingga kredit otomotif dan barang elektronik akan terhambat juga. Sementara itu, kredit mikro Rp5 juta ke bawah akan semakin diminati namun juga menghadapi risiko yang semakin tinggi karena kredit ini bisa berubah penggunaan dari bisnis menjadi konsumsi, yang berakibat ketidakmampuan konsumen mengembalikan kreditnya.
 

Akibat krisis finansial tahun 1997, sejak awal Desember 1997 hingga awal Mei 1998 telah terjadi pelarian modal besar-besaran ke luar negeri karena ketidakstabilan politik seperti isu sakitnya Presiden Soeharto dan Pemilu. Kerusahan besar-besaran pada pertengahan Mei 1998 yang ditujukan terhadap etnis Tionghoa telah menggoyahkan kepercayaan masyarakat keturunan Tionghoa akan keamanan harta, jiwa, dan martabat mereka. Padahal mereka menguasai sebagian besar modal dan kegiatan ekonomi di Indonesia dengan akibat mereka membawa keluar harta kekayaan mereka dan untuk sementara tidak melakukan investasi baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar