Pada umumnya, publik memahami bahwa dampak krisis finansial hanya sebatas pada bidang ekonomi saja, baik sektor finansial itu sendiri maupun sektor riil. Misalnya: kejatuhan harga saham dan indeks harga saham gabungan, jatuhnya nilai tukar mata uang dalam negeri terhadap mata uang asing, kenaikan harga sembako dan kebutuhan lain secara drastis, kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL), dan kenaikan ongkos angkutan publik. Namun, disamping itu semua, krisis finansial juga akan berdampak pada bidang lain, baik ideologi, politik, sosial, budaya, bahkan pertahanan dan keamanan. Intinya, krisis finansial akan membawa krisis multidimensi. Anda tidak percaya? Mari kita ulas bersama.
Agar lebih mudah dalam memahami dampak krisis finansial di berbagai bidang, mari kita tengok sejenak tabel di bawah ini.
Dari tabel di atas, terlihat bahwa krisis finansial tak hanya menimbulkan dampak negatif terhadap pembangunan bidang ekonomi, tetapi lebih dari itu, di bidang lain pun akan turut mengalami kekacauan atau terjadi krisis multidimensi.
Krisis finansial secara praktis mengandung dua gejolak: (a) Penurunan Nilai Tukar (PNT) dan (b) Pengetatan Likuiditas Rupiah (PLR). Kedua faktor penurunan nilai tukar dan pengetatan likuiditas cepat atau lambat akan berpengaruh terhadap seluruh elemen dan pelaku ekonomi. Dampak utama penurunan nilai tukar adalah secara efektif akan menurunkan daya beli (permintaan) konsumen terutama masyarakat berpendapatan menengah dan rendah (miskin). Dampak penurunan permintaan ini akan mendorong menurunnya produksi barang dan jasa.
Dari sudut produsen, krisis penurunan nilai tukar dan naiknnya bunga uang dan kandungan input impor cukup besar akan mendorong biaya produksi, sehingga harga barang naik. Besar kemungkinan tekanan inflasi terutama cost push inflation adalah bahaya yang datang menyelinap ke dalam ekonomi Indonesia. Apabila daya beli menurun serta harga barang dan jasa meningkat, maka kemungkinan besar perusahaan akan memotong jumlah produksi (output) yang dapat berdampak terhadap PHK tenaga kerja. Kalau ini terjadi maka urban and rural unemployed labor akan semakin meningkat. Ujung-ujungnya adalah keresahan sosial, dengan istilah yang lebih mengerikan lagi, setelah terjadi krisis finansial maka akan terjadi chaos (baca: keyos, bukan kaos loh ya ^_^ )
Kalau perusahaan mengurangi output, maka jumlah pajak yang dikumpulkan pasti berkurang sehingga total penerimaan (anggaran belanja) yang bersumber dari pajak akan berkurang. Di sisi penawaran (supply) faktor pemotong anggaran belanja ini akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Ujungnya target pertumbuhan ekonomi yang tinggi (7-8% per tahun) akan sangat sukar dipertahankan. Krisis finansial 1997 telah menjungkirbalikkan prediksi yang optimis dari pengamat pada awal dan pertengahan tahun 1997. Faktor ini membuktikan bahwa sesungguhnya pertumbuhan ekonomi Indonesia senantiasa sukar diperkirakan (unpredictable) karena sifat ketidakpastian telah built-up dalam stuktur ekonomi Indonesia.
Bahaya lain yang datang setelah depresiasi rupiah (devaluasi) melalui mekanisme pasar adalah bahaya inflasi. Indonesia masih banyak mengimpor bahan baku dan barang modal yang cukup besar. Karena harga dollar yang relatif lebih mahal dibading dengan rupiah, maka merosotnya nilai rupiah di satu pihak mendorong ekspor, akan tetapi melalui time-lag tertentu (2-3 tahun) akan bersifat inflatoar kerena sifat cost-push inlfation tersebut. Kalau Indonesia tidak mampu mengurangi impor serta meningkatkan pruduktifitas ekonomi dan ekspor maka bahaya inflasi akan segera dihadapi karena sifat cost-push inflation tersebut. Faktor musim kemarau panjang, kebakaran hutan, bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir bandang, serta faktor alam lain akan dapat memperburuk keadaan ekonomi terutama meningkatnya harga barang konsumsi yang berakhir pada peningkatan inflasi.
Melemahnya nilai rupiah terhadap dollar dipastikan berdampak terhadap sektor pertanian dan agribisnis. Bagi perusahaan-perusahaan yang menggunakan bahan bakunya dari dalam negeri, gejolak keuangan mungkin tidak berpengaruh demikian besar, dan apabila sebagian besar output diekspor, maka akan memiliki dampak positif. Namun, apabila perusahaan menggunakan bahan baku yang diimpor dari luar negeri, maka implikasi gejolak keuangan akan berpengaruh terhadap struktur biaya (meningkatkan biaya per unit input dan output) yang lebih besar. Apabila pasarnya dalam negeri, maka akan semakin suram. Dalam kondisi ini, gejolak keuangan berpengaruh negatif terhadap kinerja perusahaan yang bersangkutan.
Krisis finansial akan berdampak negatif terhadap pertanian rakyat. Mengingat sektor pertanian rakyat menyerap banyak tenaga kerja, maka sangat mungkin krisis akan menambah tingkat pengangguran. Jika Return on Investment (RoI) di sektor pertanian hanya berkisar 15 persen, dengan adanya krisis finansial tidak mustahil kalau krisis akan membuat RoI sektor pertanian rakyat turun di bawah angka 10% sehingga membuat sektor ini semakin tidak menarik bagi investor.
Nah, sekarang jelaslah sudah, krisis finansial akan membawa dampak yang sangat berbahaya, mari kita cegah mulai dari diri kita sendiri, sekarang juga dengan memperkuat ketahanan finansial kita. Pada pembahasan selanjutnya, akan kita ulas sisi sejarah krisis finansial.
Agar lebih mudah dalam memahami dampak krisis finansial di berbagai bidang, mari kita tengok sejenak tabel di bawah ini.
Dari tabel di atas, terlihat bahwa krisis finansial tak hanya menimbulkan dampak negatif terhadap pembangunan bidang ekonomi, tetapi lebih dari itu, di bidang lain pun akan turut mengalami kekacauan atau terjadi krisis multidimensi.
Krisis finansial secara praktis mengandung dua gejolak: (a) Penurunan Nilai Tukar (PNT) dan (b) Pengetatan Likuiditas Rupiah (PLR). Kedua faktor penurunan nilai tukar dan pengetatan likuiditas cepat atau lambat akan berpengaruh terhadap seluruh elemen dan pelaku ekonomi. Dampak utama penurunan nilai tukar adalah secara efektif akan menurunkan daya beli (permintaan) konsumen terutama masyarakat berpendapatan menengah dan rendah (miskin). Dampak penurunan permintaan ini akan mendorong menurunnya produksi barang dan jasa.
Dari sudut produsen, krisis penurunan nilai tukar dan naiknnya bunga uang dan kandungan input impor cukup besar akan mendorong biaya produksi, sehingga harga barang naik. Besar kemungkinan tekanan inflasi terutama cost push inflation adalah bahaya yang datang menyelinap ke dalam ekonomi Indonesia. Apabila daya beli menurun serta harga barang dan jasa meningkat, maka kemungkinan besar perusahaan akan memotong jumlah produksi (output) yang dapat berdampak terhadap PHK tenaga kerja. Kalau ini terjadi maka urban and rural unemployed labor akan semakin meningkat. Ujung-ujungnya adalah keresahan sosial, dengan istilah yang lebih mengerikan lagi, setelah terjadi krisis finansial maka akan terjadi chaos (baca: keyos, bukan kaos loh ya ^_^ )
Kalau perusahaan mengurangi output, maka jumlah pajak yang dikumpulkan pasti berkurang sehingga total penerimaan (anggaran belanja) yang bersumber dari pajak akan berkurang. Di sisi penawaran (supply) faktor pemotong anggaran belanja ini akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Ujungnya target pertumbuhan ekonomi yang tinggi (7-8% per tahun) akan sangat sukar dipertahankan. Krisis finansial 1997 telah menjungkirbalikkan prediksi yang optimis dari pengamat pada awal dan pertengahan tahun 1997. Faktor ini membuktikan bahwa sesungguhnya pertumbuhan ekonomi Indonesia senantiasa sukar diperkirakan (unpredictable) karena sifat ketidakpastian telah built-up dalam stuktur ekonomi Indonesia.
Bahaya lain yang datang setelah depresiasi rupiah (devaluasi) melalui mekanisme pasar adalah bahaya inflasi. Indonesia masih banyak mengimpor bahan baku dan barang modal yang cukup besar. Karena harga dollar yang relatif lebih mahal dibading dengan rupiah, maka merosotnya nilai rupiah di satu pihak mendorong ekspor, akan tetapi melalui time-lag tertentu (2-3 tahun) akan bersifat inflatoar kerena sifat cost-push inlfation tersebut. Kalau Indonesia tidak mampu mengurangi impor serta meningkatkan pruduktifitas ekonomi dan ekspor maka bahaya inflasi akan segera dihadapi karena sifat cost-push inflation tersebut. Faktor musim kemarau panjang, kebakaran hutan, bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir bandang, serta faktor alam lain akan dapat memperburuk keadaan ekonomi terutama meningkatnya harga barang konsumsi yang berakhir pada peningkatan inflasi.
Melemahnya nilai rupiah terhadap dollar dipastikan berdampak terhadap sektor pertanian dan agribisnis. Bagi perusahaan-perusahaan yang menggunakan bahan bakunya dari dalam negeri, gejolak keuangan mungkin tidak berpengaruh demikian besar, dan apabila sebagian besar output diekspor, maka akan memiliki dampak positif. Namun, apabila perusahaan menggunakan bahan baku yang diimpor dari luar negeri, maka implikasi gejolak keuangan akan berpengaruh terhadap struktur biaya (meningkatkan biaya per unit input dan output) yang lebih besar. Apabila pasarnya dalam negeri, maka akan semakin suram. Dalam kondisi ini, gejolak keuangan berpengaruh negatif terhadap kinerja perusahaan yang bersangkutan.
Krisis finansial akan berdampak negatif terhadap pertanian rakyat. Mengingat sektor pertanian rakyat menyerap banyak tenaga kerja, maka sangat mungkin krisis akan menambah tingkat pengangguran. Jika Return on Investment (RoI) di sektor pertanian hanya berkisar 15 persen, dengan adanya krisis finansial tidak mustahil kalau krisis akan membuat RoI sektor pertanian rakyat turun di bawah angka 10% sehingga membuat sektor ini semakin tidak menarik bagi investor.
Nah, sekarang jelaslah sudah, krisis finansial akan membawa dampak yang sangat berbahaya, mari kita cegah mulai dari diri kita sendiri, sekarang juga dengan memperkuat ketahanan finansial kita. Pada pembahasan selanjutnya, akan kita ulas sisi sejarah krisis finansial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar