Google
 

Minggu, 03 April 2011

Tulip Mania 1637

Alphard hitam kinclong yang masih gres itu baru saja berhenti di halaman rumah Opa Pandjaitan. Opa sudah tau kalau yang akan turun dari mobil itu adalah kedua cucu kesayangannya: Jack dan Rasya, sebab malam kemarin Jack mengirim pesan singkat ke hape Opa, "Opa, besok jam 3 sore Kami maen ksana."
Setelah turun dari mobil, Jack dan Rasya langsung berjalan ke arah Opa berdiri dan mencium tangan Opa.

"Apa kabar Opa? Lama ga maen ke sini jadi kangen sama Opa," sapa Rasya dengan hangat.

"Iya, Opa juga kangen sama kalian," kata Opa sambil memberikan senyuman khasnya.

"Opa cerita lagi dong, kami sudah ga sabar ingin dengar cerita pengalaman Opa," pinta Jack dengan muka sedikit memelas.


“Iya, sabar, kita masuk dululah, ntar Opa ceritain sesuatu,” kata Opa.
Jack dan Rasya paling senang kalau mendengar cerita dari Opa. Opa punya banyak cerita karena memang punya banyak pengalaman hidup.

Di ruang tamu rumah Opa, ada foto yang baru dipajang oleh Opa. Sebenarnya foto itu foto lama, hanya baru saja dipajang sebelum Jack dan Rasya datang.

“Opa, bunga Tulip itu kan banyak di Belanda, tapi sejarahnya Tulip itu gimana Opa? Apa Tulip itu bunga aseli dari Negeri Kincir Angin?” tanya Jack sambil melihat foto Opa waktu di Amsterdam sepuluh tahun yang lalu.

“Pertanyaan bagus. Tulip berasal dari bahasa Turki yang artinya sorban. Tulip diperkenalkan ke Belanda oleh Conrad Guestner yang mengimpornya dari Konstantinopel pada tahun 1593. Tulip diimpor dari Vienna dan dibudidayakan di Inggris pertama kali pada awal tahun 1600. Tulip tumbuh dari bonggolnya. Pengembangbiakan tulip sendiri dapat melalui bonggol-nya maupun bibitnya. Setelah beberapa waktu, muncul suatu virus tidak mematikan yang disebut dengan Mosaic. Virus ini mengakibatkan Tulip menjadi indah berwarna-warni. Efek dari virus ini mengakibatkan Tulip menjadi eksklusif sehingga meningkatkan nilai jualnya. Tulip sendiri diklasifikasikan berdasarkan warnanya. Tulip dengan satu warna yaitu merah, kuning, atau putih dikenal dengan nama Couleren. Tapi, varian Tulip yang lebih populer adalah Tulip multi-warna seperti Rosen, Violetten, dan Bizarden. Warna-warna spektakuler tulip itu adalah efek dari si virus Mosaic,” papar Opa.

"Bunga Tulipnya cantik-cantik ya Opa?" kata Rasya.

"Tulip emang cantik, dan orang Belanda banyak yang jadi kaya karena jualan bunga Tulip. Tapi percaya gak kalo gara-gara serakah Tulip, orang Belanda bisa jatuh miskin?"

"Masa' sih? Apa hubungannya Tulip dengan jatuh miskin? Gimana ceritanya?" tanya Jack yang makin penasaran.

"Begini ceritanya, dulu pada awal abad ke-17 di Belanda, bunga Tulip menjadi barang eksotik dan sangat berharga di kalangan bangsawan. Saking berharganya, umbi-nya bisa digunakan sebagai alat tukar layaknya uang. Tulip menjadi simbol status dan kebanggaan bagi orang-orang kaya dan terkenal. Orang yang tidak memiliki tulip dianggap berselera rendah. Keinginan untuk memiliki tulip mulai merambah ke golongan menengah, pedagang bahkan penjaga toko. Karena asumsi itu dan seiring dengan meningkatnya gengsi dikalangan bangsawan,dengan cepat harga tulip semakin meroket, bahkan harga umbinya pun ikut meroket. Peristiwa itu dikenal dengan istilah Tulip mania," Opa membuka cerita sore itu sambil duduk di kursi goyangnya.

"Trus?" tanya Rasya.

“Pada tahun 1634, Tulip mania telah menjalar ke seluruh pelosok negeri dimana setiap orang menjual tanah, ternak, kebun, dan tabungannya, bahkan berutang untuk memperoleh Tulip. Yang menjadikan mania ini semakin buruk adalah adanya opsi yang membuat orang yang sebenarnya tidak mampu membeli, ikut berspekulasi. Dengan adanya daya ungkit dari opsi ini, pembeli dapat mengontrol jumlah bonggol yang lebih besar dari yang seharusnya dapat dimilikinya.”

Opa membenahi posisi kacamatanya, lalu melanjutkan cerita.

“Pada saat itu orang-orang percaya bahwa harga bonggol Tulip kebal dari crash dan yakin bahwa harga akan terus naik. Akibat naiknya kepopuleran bonggol Tulip, para pembudidaya profesional membayar harga yang semakin lama semakin tinggi untuk bonggol Tulip yang mengandung virus. Tak hanya di Belanda, Tulip mania juga menyebar sampai ke Perancis. Adanya permintaan bonggol Tulip yang tinggi dari Perancis mengundang para spekulan memasuki pasar. Pada tahun 1635, tercatat penjualan 40 bonggol Tulip dengan nilai 100 ribu Florins. 1 Florin itu setara dengan 10,28 Euro pada tahun 2002. Pada bulan Februari 1637, harga satu kontrak Tulip setara dengan 20 kali gaji tahunan seorang pengrajin berpengalaman."

"Itu artinya harga satu bonggol Tulip bisa mencapai 2.570 Euro atau sekitar Rp 3.6 juta ya Pa?" tanya Jack.

"Wah, cucu Opa yang satu ini memang jagoan kalo soal itung-itungan. Opa lanjutin ya.. Seiring dengan pesatnya perkembangan pasar bonggol Tulip, pada tahun 1636 pemerintah Belanda membuat futures market dimana kontrak pembelian bonggol Tulip pada akhir musim mulai diperjualbelikan. Para pedagang membayar fee transaksi 2.5% dari nilai transaksi sampai dengan maksimal 3 Florin. Setiap pihak yang melakukan perdagangan tidak harus memiliki initial margin seperti perdagangan futures saat ini dan kontrak adalah perjanjian antar individu, bukan melalui bursa."

“Berarti bisa kita katakan kontrak itu adalah kontrak forward ya Pa? Kan tidak melalui bursa?” tanya Rasya.

“Ya, bisa dibilang begitu. Kenyataannya, tidak ada satu pun bonggol Tulip yang secara fisik dikirimkan dalam perdagangan ini. Transaksi yang dilakukan adalah murni spekulasi. Oleh karena itulah orang-orang menyebut perdagangan kontrak Tulip ini sebagai windhandle atau wind trade.”

“Selanjutnya, tanpa disadari oleh kebanyakan orang, tren perdagangan mulai berubah. Aturan mengenai perdagangan mulai diperketat. Para spekulan yang cerdik mulai menjual seluruh kontrak bonggol Tulip yang dimilikinya di harga tinggi dan memperoleh untung besar. Akibatnya, suplai bonggol Tulip di pasar semakin tinggi. Jumlah Tulip semakin banyak, Tulip tidak lagi menjadi barang langka, dan harga mulai jatuh. Kepanikan menyebar bagaikan api dan para spekulan mulai menyadari bahwa harga yang ditawarkan sudah tidak lagi sebanding dengan nilai dari bonggol Tulip,” lanjut Opa.

“Tepatnya tahun 1637, harga Tulip jatuh dalam waktu singkat dan menimbulkan kepanikan di se-antero Belanda hingga sebagian Eropa. Banyak orang menjadi bangkrut dengan setumpuk Tulip yang tidak berharga lagi setelah mereka menjual tanah dan menguras tabungan mereka untuk memperoleh Tulip. Lebih parahnya lagi, banyak juga yang berutang demi mendapatkan Tulip. Nah, orang-orang yang berutang seperti itulah yang kemudian jatuh miskin mendadak. Tulip mania inilah yang menjadi salah satu fenomena gelembung ekonomi pertama yang tercatat dalam sejarah.”

Bubble Tulip ini sepertinya bisa jadi cerminan irasionalitas manusia. Banyak sekali kasus bubble yang menyebabkan goncangnya sendi-sendi ekonomi suatu negara. Sampai sekarang pun kejadian yang mirip dengan Tulip mania masih sering terjadi, contohnya bubble properti di Amerika Serikat tahun 2007,” kata Jack.

"Untung bubble Anthurium di Indonesia beberapa tahun lalu ga separah bubble Tulip di Belanda ya Pa?" kata Rasya.

“Iya, jadi sebenarnya, yang membuat sebagian orang Belanda jadi jatuh miskin mendadak pada masa itu bukanlah karena Tulip, tapi karena keserakahan mereka sendiri. Mereka serakah ingin untung besar, tidak memperhatikan kemampuan keuangannya, terus nekat menjual aset dan yang lebih parah adalah mereka berutang untuk mendapatkan barang yang harganya meroket dalam waktu singkat. Intinya, karena serakah itu tadi, mereka benar-benar tidak memperhitungkan risiko kegagalannya.” kata Opa.

Pisang goreng keju dan teh manis hangat menemani diskusi mereka sore itu hingga azan Maghrib berkumandang.


1 komentar: