Kita sudah berada di awal tahun 2011. Saya ucapkan selamat tahun baru untuk Anda semua pembaca blog ini. Semoga Anda lebih sukses dan lebih sejahtera pada tahun ini. Mungkin Anda sudah memiliki resolusi sendiri atau target-target tertentu yang ingin Anda capai pada tahun 2011. Seperti Anda, saya pun punya target yang ingin saya capai, berbagi pengetahuan mengenai krisis finansial atau yang lebih dikenal oleh masyarakat kita sebagai krisis moneter (krismon) salah satunya. Saat ini belum banyak masyarakat kita yang memiliki kesadaran dan kewaspadaan yang tinggi terhadap krisis finansial. Hal ini bisa terjadi karena memang minim sekali informasi yang beredar mengenai krisis finansial dan tak banyak akademisi bidang ekonomi maupun praktisi keuangan yang membahasnya. Di tahun 2011 ini kita akan kupas tuntas fenomena krisis finansial, apa saja dampaknya terhadap kehidupan kita, bagaimana sejarahnya, apa penyebabnya, bagaimana solusi pencegahannya, dan bagaimana idealnya kita bersikap jika krisis sudah terlanjur terjadi dan mengakibatkan dampak yang sangat parah terhadap diri Anda, perusahaan Anda, dan negara kita tercinta, Indonesia.
Sekitar awal tahun 1998, masih segar dalam ingatan saya, kata-kata salah satu kerabat yang saat itu hidup di bawah garis kemiskinan.
“Waduh, sekarang hargo mie instan naek jadi seribu limo ratus.”
Saya mengerti maksudnya, harga mie instan sudah naik lebih dari tiga kali lipat dari harga biasanya, dan saya bisa merasakan kesulitan yang ia alami karena kini selembar uang Rp1.000 di kantongnya sudah tidak cukup lagi untuk membeli sebungkus mie instan. Dahulu, dengan uang Rp1.500 ia bisa membeli empat bungkus mie instan, tetapi karena krismon, keluarganya hanya bisa makan sebungkus mie instan yang dibagi rata untuk keempat anggota keluarga itu.
Sekitar awal tahun 1998, masih segar dalam ingatan saya, kata-kata salah satu kerabat yang saat itu hidup di bawah garis kemiskinan.
“Waduh, sekarang hargo mie instan naek jadi seribu limo ratus.”
Saya mengerti maksudnya, harga mie instan sudah naik lebih dari tiga kali lipat dari harga biasanya, dan saya bisa merasakan kesulitan yang ia alami karena kini selembar uang Rp1.000 di kantongnya sudah tidak cukup lagi untuk membeli sebungkus mie instan. Dahulu, dengan uang Rp1.500 ia bisa membeli empat bungkus mie instan, tetapi karena krismon, keluarganya hanya bisa makan sebungkus mie instan yang dibagi rata untuk keempat anggota keluarga itu.
Itulah salah satu peristiwa yang menjadi motivasi saya untuk mencari tau lebih banyak mengenai krisis finansial. Sebenarnya, dan saya yakin semua orang tau, tak hanya sang kerabat itu saja yang menjadi korban keganasan krisis finansial. Ada jutaan korban lainnya yang jatuh bergelimpangan akibat krismon yang sangat dahsyat, termasuk Anda dan saya tentunya.
Tahun 1999, saya lulus ujian masuk SMU Taruna Nusantara (TN)-Magelang. Setiap calon siswa yang berasal dari Provinsi Jambi biasanya akan diantar menggunakan pesawat terbang dari Jambi ke Yogyakarta. Sebelum berangkat, saya membayangkan betapa bahagianya naik pesawat terbang, maklum, saya bukanlah dari keluarga yang mampu untuk bepergian menggunakan pesawat terbang waktu itu. Tetapi karena pada saat itu bertepatan dengan peristiwa krismon, saya bersama dua rekan lainnya batal naik pesawat terbang, dan kami hanya naik bis dari Jambi ke Magelang. Gara-gara krismon, saya kehilangan kesempatan untuk naik pesawat terbang.
Masih ada cerita lain yang ingin saya sampaikan mengenai dampak krisis finansial yang luar biasa menyakitkan. Dua cerita di atas hanya sedikit pengantar, ada kisah lain yang lebih mengerikan. Akan kita bahas lebih lanjut pada topik “Dampak Krisis Finansial”.
Banyak pakar yang menyatakan beberapa hal sebagai penyebab terjadinya krisis finansial. Bahkan ada pula yang menyatakan suatu fenomena sebagai akar utama penyebab krisis finansial global. Namun, banyak yang dinyatakan oleh para pakar itu hanyalah reaksi dari eksistensi faktor utama penyebab krisis finansial. Belum ada pakar yang memberikan penjelasan parsimony mengenai penyebab terjadinya krisis.
Kalau Anda melemparkan sepatu ke atas (ke arah langit), pasti sepatu itu akan jatuh kembali ke tanah. Begitu pula jika Anda melemparkan selembar uang kertas ke atas, pasti uang itu juga jatuh ke tanah. Sepatu dan uang kertas adalah dua benda yang berbeda, dibuat dari bahan yang berbeda, dan memiliki massa yang berbeda pula. Tetapi mengapa sesaat setelah keduanya dilempar ke atas, kedua benda yang berbeda itu sama-sama jatuh ke bawah? Penjelasan parsimony dari kedua peristiwa itu adalah: Gravitasi. Satu kata sederhana, tetapi mampu menjelaskan sejuta peristiwa serupa.
Begitu pula halnya dengan krisis finansial. Tahun 1637 terjadi krisis yang dikenal dengan peristiwa Tulip Bubble di Belanda, 1720 terjadi krisis South Sea Bubble dan Mississippi Bubble, 1920-an krisis Stock Price Bubble, 1929 terjadi the Great Depression, 1970 krisis Bank Loans Bubble di Meksiko, 1980-an krisis Real Estate and Stock Bubble di Jepang, Finlandia, Norwegia, dan Swedia, tahun 1990-an krisis di Argentina, Meksiko, dan beberapa negara Amerika Latin, 1997 krisis di Asia Tenggara, bahkan negara adidaya seperti Amerika Serikat pun tak dapat mengelak dari serangan krisis tahun 2007. Perlu ada satu penjelasan parsimony yang dapat mendeskripsikan dengan gamblang penyebab utama semua peristiwa krisis tersebut.
Kalau kita sudah mengetahui penyebab utama terjadinya krisis finansial, tentu akan mudah bagi kita untuk menjauh dari penyebab krisis itu. Kita pun dapat memiliki ketahanan finansial yang kokoh dan sulit diserang penyakit mematikan yang bernama krisis finansial.
Kita yang tinggal di Indonesia memang tidak merasakan penderitaan yang mendalam akibat krisis subprime mortgage di Amerika Serikat. Namun, ada baiknya kita memperhatikan gagasan Nouriel Roubini dalam buku “Ponzi Ekonomi” karya Dr. A. Prasetyantoko, krisis bukan lagi sebuah “pengecualian”, melainkan sebuah “norma” baru. Artinya, jika pada masa lampau krisis adalah sesuatu yang secara pengecualian terjadi, kini krisis sudah menjadi kebiasaan baru. Krisis finansial alias krismon akan terjadi lagi, hanya saja tak ada manusia yang tahu kapan tepatnya krisis akan terjadi kembali. Mempersiapkan diri dalam dunia yang penuh krisis adalah suatu keharusan.
Mencegah adalah jauh lebih baik daripada mengobati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar