Google
 

Senin, 02 Mei 2011

South Sea Bubble 1720

Abad ke-18 adalah masa kejayaan Inggris Raya. Pada abad ini, Inggris Raya merupakan negara besar yang koloninya tersebar di seluruh penjuru dunia. Kejayaan dan kemakmuran itu ibarat gadis cantik yang memikat semua pria untuk melakukan apa saja demi mendapatkan cinta sang gadis. Kemakmuran telah memancing Pemerintah Inggris untuk melakukan apa pun. Mereka menjadi pendukung ideologi 3H, “Halal, Haram, Hantam”. Termasuk berutang. Pemerintah Inggris berani berutang karena yakin kemakmuran itu akan langgeng sehingga nekat berutang dalam jumlah besar tanpa memperhitungkan risiko. Tak tanggung-tanggung, Pemerintah Inggris nekat ngutang alias minjam duit ke South Sea Company (SSC), perusahaan di Inggris yang bergerak di bidang perdagangan budak. Komoditas utama perusahaan ini adalah budak yang diimpor dari Afrika Barat dan kemudian dijual ke Amerika Selatan. Adakah dampak buruk mental dan perilaku ngutang pemerintah Inggris ini terhadap perekonomian masyarakatnya?


Pada awalnya, Pemerintah Inggris berutang £10 juta ke South Sea Company. Dengan diterbitkannya surat utang yang memberikan bunga sebesar 6% per tahun untuk South Sea Company, pemerintah Inggris berkewajiban untuk membayar bunga sekitar £600 ribu per tahun kepada South Sea Company. Coba perhatikan angkanya lagi, 600 ribu poundsterling, itu baru bunganya saja, belum termasuk pokok utangnya. Luar biasa nekad. Karena waktu itu Inggris sedang berperang dengan Perancis, untuk membiayai perang tersebut Pemerintah Inggris semakin bertindak nekad dengan dengan menerbitkan surat utang ke beberapa perusahaan besar lainnya sehingga total utang nasional Inggris (English National Debt) berjumlah sekitar £30 juta.

Nah, sebagai bonus karena telah memberikan pinjaman kepada pemerintah Inggris, House of Lords mengeluarkan South Sea Bill (semacam surat pengakuan Hak Istimewa) kepada South Sea Company yang memberikan hak monopoli kepada South Sea Company untuk melakukan perdagangan dengan Amerika Selatan. Hak monopoli perdagangan budak ini merupakan hasil dari perjanjian Utrecht pada tahun 1713 yang memberikan hak kepada Inggris untuk menjual budak ke negara-negara Amerika Selatan yang menjadi jajahan Spanyol.
 
Apa South Sea Company punya duit buat dipinjamkan ke pemerintah Inggris? Jawabannya: BELUM. Untuk mendapatkan dana yang akan dipinjamkan ke pemerintah Inggris, South Sea Company menerbitkan saham yang juga digunakan untuk membiayai operasinya sekaligus menarik para investor. Karena para investor memprediksi bahwa South Sea Company bakal memperoleh untung besar gara-gara telah memiliki hak monopoli perdagangan budak, harga saham South Sea Company dalam sekejap meroket 10 kali lipat. Spekulasi terhadap saham ini menjadi sangat liar karena investor melihat prospek yang menjanjikan dengan adanya kepemilikan hak monopoli oleh perusahaan ini.  


Pemerintah Inggris berutang ke South Sea Company (SSC), setali tiga uang dengan pemerintah, SSC pada tahun 1717 juga berutang, tidak ke pemerintah tetapi ke masyarakat. SSC mengeluarkan surat utang publik sebesar £2 juta. Kemudian pada tahun 1719, mengajukan skema penawaran baru. Perusahaan akan membeli separuh dari utang nasional Inggris (£31 juta) yang pembayarannya dilakukan dengan menerbitkan saham baru. Praktik ini sering juga disebut dengan debt to equity swap. Selain itu, SSC juga menjanjikan kepada pemerintah untuk menurunkan suku bunga yang telah dibelinya menjadi 5% sampai dengan 1727 dan 4% setelahnya. Jadi, total utang pemerintah Inggris pada saat itu (1719) adalah £50 juta dengan rincian sebagai berikut:
 
Untuk mendongkrak harga sahamnya, South Sea Company terus mengeluarkan rumor tentang bagaimana besar nilai perdagangannya di Amerika Selatan. Hal ini memicu spekulasi liar atas sahamnya. Harga saham SSC melonjak dari £128 pada bulan Januari 1720 menjadi £175  pada bulan Februari, £330 pada bulan Maret dan £550 per lembar saham pada bulan Mei saat skema penawaran debt to equity disetujui. Salah satu hal yang menyebabkan spekulasi ini terjadi adalah adanya dana kredit sebesar £70 juta yang diberikan oleh pemerintah dan parlemen untuk SSC melakukan ekspansi usaha.
 

 
 
Saham perusahaan “dijual” kepada para politisi. Namun, pada praktiknya para politisi tersebut tidak membayar pake duit untuk memiliki saham tersebut. Mereka hanya menyimpan saham SSC untuk kemudian dijual kembali ke perusahaan kapan saja mereka mau dan menikmati keuntungan dari selisih harganya. Tentu saja perusahaan membeli saham yang dijual oleh para politisi tersebut dengan menggunakan dana kredit yang telah diberikan oleh pemerintah. Jadi, di sini pemerintah-lah yang menanggung semua kerugian.
Para politisi yang memiliki saham South Sea Company tentu saja berkepentingan untuk menaikkan harga sahamnya. Sementara itu, South Sea Company terus mempublikasikan orang-orang penting yang menjadi pemegang saham untuk memperkuat legitimasinya. Dalam jangka waktu setahun harga saham South Sea Company melonjak tajam dari £100 menjadi £1.000. Demam ini kemudian menular ke seluruh pelosok negeri. Setiap orang ingin membeli saham South Sea Company. Harga saham mencapai puncaknya di level £1.000 pada bulan Agustus 1720 dan mulai jatuh saat para investor mulai melakukan penjualan karena menyadari bahwa perusahaan tidak dapat menunjukkan kenaikan pendapatan seperti yang diharapkan. Lebih buruk lagi, berita mengenai aksi manajemen yang tidak bertanggung jawab ini dengan cepat menyebar dan mendorong harga saham semakin turun.

Pada akhir tahun 1720, harga saham South Sea Company anjlok dan kembali lagi ke level di awal tahun yaitu £100. Kejatuhan ini menyeret korban yang sangat banyak, terutama mereka yang membeli saham dengan kredit. Keadaan ini diperparah dengan adanya praktik short selling dengan harapan dapat membeli lagi sahamnya di harga yang lebih murah.
South Sea Bubble merupakan salah satu bubble terburuk sepanjang sejarah. Sejak kejadian ini, penerbitan saham bagi publik dianggap melanggar hukum. Aturan tersebut baru dicabut pada tahun 1825.

 

Apa hikmah di balik South Sea bubble? 
Kalau kita baca lagi cerita di atas, ada beberapa hal yang mengakibatkan fenomena krisis South Sea, yakni:
  1. Pemerintah tidak mampu membayar, tetapi nekat ngutang. 
  2. SSC melakukan kebohongan publik dengan membuat rumor volume perdagangannya membesar dan banyak politikus atau tokoh penting yang membeli sahamnya. 
  3. SSC buy back sahamnya yang dipegang politikus pake uang hasil utang ke pemerintah. 
  4. Politikus membeli saham ga pake duit. 
  5. Masyarakat rame-rame ngutang buat beli saham SSC yang digelembungkan nilainya.
Bagi Anda yang telah membaca cerita saya tentang krisis di Belanda pada abad ke-17, tentu Anda dapat melihat pola yang identik antara krisis di Belanda abad ke-17 dengan krisis di Inggris abad ke-18. Ya, akar masalahnya adalah utang, lebih tepatnya unsustainable debt, utang yang tidak terukur dan tidak dimanfaatkan dengan baik. Kesimpulannya, kalau Anda, keluarga Anda, perusahaan Anda, atau negara Kita ingin selamat dari serangan krisis finansial atau krisis ekonomi, sedapat mungkin hindarilah utang. Kalau pun terpaksa ngutang, pastikan utang Anda terukur dan di-manage dengan baik.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar